Permasalahan judi online jadi perhatian serius pemerintah. Pada 15 September 2023 lalu Budi Arie Setiadi Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) mengeluarkan instruksi mempercepat pemberantasan konten judi online di Indonesia.
Tujunnya menjaga ruang digital Indonesia agar tetap aman, sehat, positif, dan produktif bagi masyarakat. Instruksi ini tindak lanjut dari implementasi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Laporan terbaru PPATK menemukan, 2,7 juta orang Indonesia terlibat judi online. Di mana 2,1 juta di antaranya adalah ibu rumah tangga dan pelajar dengan penghasilan di bawah Rp100.000.
Menurut Kawiyan anggota KPAI Subklaster Anak Korban Pornografi dan Cybercrime, pelajar yang terpapar judi online ada hubungannya dengan kegiatan belajar dengan internet.
Sementara dr. Kurniawan Satria Denta dokter spesialis anak menyebut, anak-anak mengetahui judi slot dari streaming game di YouTube, karena akses mereka pada internet tidak pernah putus.
Dari situ mereka mulai menggunakan uang saku pemberian orang tua untuk didepositkan. Berdasarkan pengakuan anak-anak yang kecanduan, deposit slot atau pasang taruhan tidak melulu pakai rekening bank
Ada cara lain yang lebih gampang. Beli atau berbagi pulsa dan mengirim via dompet atau uang elektronik dengan nominal Rp10.000. Kalau uangnya habis gara-gara kalah judi, perilaku mereka jadi tidak terkendali.
Jadi, apakah Anda bisa membedakan game online dengan judi online?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (14/12/2023) pagi, sebagian besar masyarakat bisa membedakan antara game online dengan judi online
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, dari 15 pendengar yang berpartisipasi, 13 di antaranya (87 persen) mengaku bisa membedakan antara game online dengan judi online. Sementara dua lainnya (13 persen) mengaku sulit untuk membedakan.
Menanggapi tentang judi online, Pratama Dahlian Persadha Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber dan dan Komunikasi (CISSReC) mengatakan bahwa cara membedakan antara game online dengan judi online sebenarnya sangat mudah.
Pertama, tujuan game online adalah untuk hiburan, relaksasi, serta tantangan. Bahkan game online juga meningkatkan keterampilan. Sedangkan tujuan melakukan judi online adalah mecari keuntungan finansial dengan mempertaruhkan keuangannya.
“Intinya adalah orang itu akan mempertaruhkan uangnya untuk mendapatkan hasil balik. Makanya saya tak habis pikir dengan influencer yang meng-endorse judi online tapi mengaku tidak tahu bahwa itu judi online. Tidak mungkin mereka tidak tahu. Polisi harus tegas, tangkap para influencer itu,” ujar Pratama ketika on air di Radio Suara Surabaya, Kamis pagi.
Pratama menambahkan, uang yang dikeluarkan untuk game online cukup terukur. Sebab digunakan untuk membeli item virtual atau meningkatkan skill si pemain.
“Sedangkan judi online melibatkan taruhan uang yang nyata dan berdampak langsung ke keuangan pemain. Oleh karena itu pantas kalau OJK menyebut ketika kalah dalam judi online, orang akan bingung bagaimana cara mengembalikan uangnya,” sebut pria kelahiran Blora, Jawa Tengah.
Lantas, kenapa banyak anak-anak yang akhirnya tercebur ke judi online?
Hal tersebut disebabkan karena anak-anak sudah menggunakan handphone sejak dini. Sementara di sisi lain ada jutaan data yang bocor. Menurut Pratama, data ini digunakan oleh bandar untuk menyebar iklan judi melalui SMS atau pesan singkat di WhatsApp.
Lama kelamaan, pelbagai godaan itu membuat orang tertarik. Anak-anak yang penasaran pun sangat memungkinkan untuk tercebur. Apalagi digoda dengan promo menarik.
“Akhirnya begitu main, mereka akan men-trigger hormon kesenangan. Sebab ketika orang main, dia merasa senang. Tak ada rasa bersalah. Padahal ini melanggar hukum. Kalau keterusan, mentalnya rusak,” jabar pria 46 tahun itu.
Pratama juga meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tak hanya memblokir situs judi saja. Langkah yang dilakukan harus lebih dari itu. Kemenkominfo harus melacak hingga ke server yang digunakan.
Pemerintah bersama kepolisian juga harus menelusuri agen-agen judi ini. Hingga pada akhirnya menangkap bandar judinya. Sebab sejatinya bandar judi itu tidak banyak. Namun jumlah agennnya yang ribuan.
“Juga lakukan kolaborasi internasional. Sebab bandar itu pasti ada di luar negeri. Ketika di sana, kadang-kadang kita tidak punya akses. Sebab di sejumlah negara judi memang dilegalkan. Maka kolaborasi dengan internasional harus diperkuat,” sebut alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM).
Yang tak kalah penting, pemerintah juga diminta hadir untuk memberikan dukungan psikologi ke korban judi online seperti laiknya proses rehabilitasi narkoba.
“Sebab judi ini menjadi penyakit, bisa membuat orang depresi. Oleh sebab itu pemerintah harus hadir dan memberi dukungan psikilogi ke para korban,” terangnya. (saf/ipg)