Jumat, 22 November 2024

Pengamat: Pemilu 2024 Ujian Berat Kredibilitas Lembaga Survei yang Merangkap Konsultan Politik

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Tangkapan layar - Hasil Survei Nasional Indikator Politik Indonesia yang dilakukan mulai 23 November-1 Desember 2023 tentang simulasi suara Pilpres. Foto: Antara Tangkapan layar - Hasil Survei Nasional Indikator Politik Indonesia yang dilakukan mulai 23 November-1 Desember 2023 tentang simulasi suara Pilpres. Foto: Antara

Surokim Abdussalam Pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo mengatakan, kredibilitas lembaga survei mengalami ujian terberat menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Menurutnya, sejumlah lembaga survei sekarang juga berperan sebagai konsultan politik. Sehingga, ada kecenderungan berupaya menggiring opini publik untuk pasangan capres-cawapres tertentu.

“Ujian paling berat lembaga survei sepanjang pemilu pascareformasi menurut saya ya kali ini, Pemilu 2024. Lembaga survei sekarang terjebak dalam perangkap sebagai konsultan politik. Padahal, keduanya memiliki porsi tugas yang berbeda,” ujarnya kepada wartawan, Senin (11/12/2023).

Dia melanjutkan, kondisi itu merupakan lampu merah bagi penyelenggara Pemilu.

“Situasi yang sungguh patut diwaspadai dan dijaga khususnya oleh para penyelenggara pemilu agar kepercayaan publik bisa pulih. Sebab, bagaimana pun esensi demokrasi elektoral itu legitimasi dan kepercayaan, dan itu wajib dijaga semua pihak kalau kita ingin Pemilu 2024 meningkat kualitasnya secara substantif,” ungkapnya.

Kemudian, untuk membuktikan apakah hasil survei tersebut didapatkan dengan cara-cara yang benar, bukan pesanan, Surokim bilang itu perlu ada pembanding survei lain.

“Sebenarnya saya berharap akan muncul lembaga survei pembanding yang lain agar kita bisa membandingkan dan menemukan intersubjectivity itu. Sehingga, akan lebih mudah memberi penilaian,” jelas Surokim.

Kalau lembaga survei terbatas, absolutisme dan hegemonik data bisa terjadi. Walau begitu, Surokim tetap yakin Lembaga Survei bisa memainkan perannya pada pesta demokrasi kali ini.

“Saya masih meyakini lembaga survei di Indonesia bisa menjadi oksigen demokrasi elektoral kita, dan masih punya masa depan untuk menjadi bahan referensi dan edukasi publik. Karena itu, lembaga survei yang muncul dari banyak pihak sungguh diharapkan,” tegasnya.

Sementara itu, Ray Rangkuti Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia menganggap ada kesenjangan pengetahuan atas asas dan tata cara pemilu demokratis bekerja.

Hal ini disampaikan Ray terkait dengan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang memotret pihak tertentu berpeluang melakukan kecurangan.

Survei LSI itu menilai pasangan Ganjar-Mahfud dianggap paling potensial melakukan kecurangan yakni sebanyak 20,6 persen, Prabowo-Gibran 14,4 persen, dan Anies-Muhaimin hanya 5,4 persen.

“Khususnya di kalangan kaum Generasi Y/Z, mereka belum sepenuhnya menerima apa dan bagaimana pemilu demokratis yang sebenarnya. Dengan hanya mendasarkan diri pada info-info sekilas di berbagai tayangan media sosial, mereka menebalkan makna apa itu kecurangan pemilu, dan pemilu yang demokratis,” ujarnya.

Hal itu juga, kata Ray, yang membuat mayoritas publik kurang peka terhadap isu demokrasi.

“Itulah kiranya mengapa mereka kurang sensitif pada isu politik dinasti, isu putusan Mahkamah Konstitusi yang cacat etik berat, berbagai contoh ketidaknetralan aparat, dan sebagainya. Mereka menerima atau menolaknya dengan begitu saja. Tanpa kritisisme,” sebutnya.

Ganjar-Mahfud MD pasangan capres-cawapres nomor 3 terkena imbas. Mereka dinilai paling berpeluang melakukan pelanggaran.

“Itulah sebabnya, mengapa Ganjar dan Mahfud dianggap paling potensial melakukan pelanggaran. Ditambah lagi dampak dari media sosial yang lebih mengutamakan pelanggaran salah satu calon dibanding calon yang lain. Hal itu semakin membuat nalar kritis masyarakat meredup,” pungkasnya. (rid/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs