Persoalan pengungsi Rohingya di wilayah Aceh dalam beberapa waktu intens jadi perbincangan masyarakat, khususnya ketika beredar sebuah video yang menunjukan bantuan makanan berupa nasi bungkus dari para relawan, justru dibuang oleh para pengungsi tersebut
Selain itu, banyak juga pemberitaan soal para pengungsi asal Myanmar tersebut berperilaku kurang etis dan bersikap seenaknya sendiri, sehingga masyarakat geram dan mempertanyakan kebijakan pemerintah yang menerima kelompok pengungsi itu.
Menanggapi hal ini, Mitra Salima Public Information Officer Lembaga PBB untuk Penanganan Pengungsi (UNHCR) Indonesia, meminta agar masyarakat Indonesia tak terpengaruh pemberitaan yang bertebaran di media sosial.
Menurutnya, dalam beberapa minggu ini, pihaknya menemukan banyak akun akun palsu yang dibuat mengatasnamakan UNHCR, memberikan pernyataan dan komentar tak bertanggung jawab yang menyudutkan para pengungsi Rohingya.
“Mungkin ini membutuhkan kebijaksanaan pendengar atau pembaca juga gitu ya, kalau melihat media sosial akhir-akhir ini untuk cross-check dulu ke sumbernya yang benar, lalu tidak mudah percaya atau tersulut, karena ya banyak sekali yang sifatnya tidak benar, fitnah, dibesar-besarkan,” jelas Mitra waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (11/12/2023).
Menurutnya, saat ini banyak sekali hoax yang berterbangan di media massa terkait kondisi terkini para pengungsi Rohingya, di wilayah Indonesia paling barat itu.
“Jadi sebenarnya kalau kita cuma ingin tahu informasi tentang Rohingya itu siapa ya, terus kita browsing Google atau lihat lewat social media, itu saat ini bukan menjadi cara yang paling benar gitu. Karena memang banyak sekali informasi yang misleading, salah, yang dibuat-buat, diada-ada, padahal aslinya tidak seperti itu,” sambungnya.
Mitra kemudian menceritakan alasan para pengungsi tersebut datang ke Indonesia, karena merupakan kaum yang teraniaya dan terancam keselamatannya di negara sendiri. Para pengungsi tersebut awalnya melarikan diri dengan mengungsi ke Bangladesh selama kurang lebih 5-7 tahun. Tapi sayangnya di negara tersebut, juga mendapatkan acaman keselamatan.
Akhirnya, lanjut Mitra, para pengungsi tersebut keluar dari Bangladesh tanpa tujuan, terombang-ambing di tengah laut dengan kapal tanpa atap, tanpa makanan dan minuman kurang lebih selama tiga minggu. Sesekali mereka sampai harus minum air laut sebelum mendarat di Aceh.
“Mereka itu sebenarnya begging, memohon agar diberikan izin untuk diam di Indonesia, karena kalau dipaksa untuk naik kapal dan dipulangkan, itu sama aja menurut mereka mungkin akan dikirim ke kematian gitu. Mereka belum tentu bisa survive (selamat), kapalnya bisa rusak setiap saat, dan belum tentu mereka punya kekuatan fisiknya untuk kembali berlayar tiga minggu lagi,” jelasnya.
Demikian dengan beredarnya video pembuangan makanan yang diberikan oleh relawan kepada mereka, menurut Mitra dipengaruhi faktor emosional dari para pengungsi Rohingya tersebut.
“Dalam kondisi yang tensinya sungguh tinggi, lalu emosional, banyak sekali mereka yang menangis-nangis, sehingga mungkin mereka itu semacam berkata, kalau saya dikembalikan itu sama aja saya akan mati, sehingga saya tidak membutuhkan makanan, gitu,” jelasnya.
Dia mengakui kalau permasalahan pengungsi Rohingya ini bukan dan tidak sepantasnya menjadi beban Indonesia. Meski jumlahnya tidak sebesar yang melarikan diri ke Malaysia, yakni sekitar 105 ribu orang, dan India kurang lebih 22 ribu orang.
Humas UNHCR Indonesia itu mengungkapkan, banyak sekali sebenarnya dari etnis Rohingya yang ingin pulang ke negara asalnya di Myanmar. Namun kondisi saat ini belum memungkinkan.
Sementara untuk kebutuhan sehari-hari, ditegaskan kalau hal tersebut semuanya ditangani oleh UNHCR, baik makanan, minuman, pendidikan, baju dan obat-obatan, semuanya ditangani oleh UNHCR bersama dengan mitra-mitra kerjanya. Hal itu disampaikan Mitra, sekaligus merespon anggapan masyarakat kalau para pengungsi tersebut dibiayai kehidupan sehari-harinya oleh pemerintah Indonesia.
“Terutama dalam hal funding itu diperolehnya saya pastikan bukan dari negara, tapi dari organisasi-organisasi kemanusiaan seperti UNHCR, partner-partner kami yang memang bergerak dan dimandatkan untuk perlindungan pengungsian,” ujarnya.
Dia juga memastikan UNHCR telah mengedukasi dan mengingatkan para pengungsi Rohingya agar tidak bersikap kurang etis selama menumpang di Indonesia. Namun, hal tersebut butuh waktu, mengingat para pengungsi Rohingya tersebut selama berpuluh-puluh tahun tidak mendapatkan hak asasi manusia dalam segala hal, terutama pendidikan.
UNHCR juga mohon waktu karena sosialisasi baru bisa dilakukan saat para pengungsi Rohingya tersebut sudah dalam kondisi kesehatan dan mental yang memungkinkan, usai terombang-ambing di laut dalam kurun waktu lama.
Kedepan, UNHCR akan mengintensifkan komunikasi dengan pemerintah Indonesia terkait lokasi penampungan etnis Rohingya tersebut. Termasuk, wacana memindahkan ke pulau khusus.
“Jadi tempat memang harus ditentukan oleh pemerintah. Namun biasanya kalau sudah ada satu tempat yang ditunjuk, kemudian UNHCR akan bekerja sama dengan mitra-mitra kerja kami untuk meningkatkan fasilitas di dalamnya,” jelasnya. (bil/iss)