Anies Rasyid Baswedan Capres nomor urut 1 mengaku tidak pernah menggunakan jasa buzzer dalam menghadapi Pilpres 2024, termasuk saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Hal ini disampaikan Anies saat menjawab pertanyaan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam dialog di kantor PWI Pusat, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (1/12/2023).
“Pertanyaan apakah kemarin pakai buzzer? kalau pakai buzzer nggak babak belur kayak begini Pak. Kemarin itu justru enggak pakai itu, semua natural gitu,” ujar Anies.
Menghadapi buzzer, Anies menyerahkan pada Tuhan, semoga akan terjawab semua kenyataan yang sebenarnya suatu saat nanti.
“Saya cuma selalu bilang begini, ya Tuhan ya Allah, berikan kami umur panjang sehingga pemutarbalikkan kenyataan lewat mesin yang dahsyat ini mudah-mudahan suatu saat akan bisa dijawab dengan kenyataan-kenyataan,” jelasnya.
Ke depan pun, Anies juga tidak akan memakai buzzer karena dampaknya merusak sekali. Untuk itu, solusinya harus dibahas dengan media agar kebebasan berekspresi tetap ada dan tidak ada post truth (kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran).
“Insya Allah nggak akan dipakai terus. Saya kira itu merusak sekali, dan solusinya menurut kami harus diobrolin sama teman-teman semua (media) atau mereka yang bergerak di media. Karena di satu sisi kita ingin menjaga kebebasan berekspresi itu jangan sampai hilang. Di sisi lain kita ingin ada dunia informasi yang tidak diisi dengan post truth approach tapi the truth,” kata Anies.
“Kita ingin mencari keseimbangan di situ. Tapi saya sendiri atau kami selama bekerja keras tidak pernah menggunakan buzzer, kami malah menemukan pribadi-pribadi objektif yang dulunya mengambil posisi mengkritik dan berseberangan kemudian mereka melihat kenyataan dan secara objektif menyampaikan apa adanya,” imbuhnya.
Satu hal yang menurut Anies kalau ruang kritik itu memang harus dibuka, karena ketika publik itu memberikan kritik maka publik menanti jawabannya.
Menurut Anies, ketika pemerintah menerima kritik, maka pemerintah harus membangun argumen lebih banyak untuk menjelaskan fakta lebih lengkap. Dan yang paling diuntungkan dari dialektika ini adalah publik.
“Kami butuhkan dari media. Media bersedia untuk memberikan ruang pada dua-duanya, sehingga publik mendapatkan jawaban kritiknya, dan publik bisa menilai dengan objektif,” jelas Anies.
Tapi kalau ruang itu tertutup, menurut Anies, akan repot. Media pun tidak harus netral tapi harus objektif.
“Masak mau netral? kalau terjadi penindasan? Nggak mungkin. Masa mau netral ada situasi marginalisasi? Nggak mungkin. Netral itu adalah sikap yang muncul dari assessment objektif atau tidak netral itu assessment obyektif. Menurut kami yang harus dijaga adalah objektivitasnya dan tentu independensi,” pungkas Anies.(faz/iss)