Jumat, 22 November 2024

Keamanan Siber KPU Harus Diperkuat, Cegah Sabotase Rekapitulasi Suara Pemilu

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi keamanan siber untuk kebocoran data. Foto: Antara

Heru Sutadi Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus melakukan audit keamanan teknologi informatika (IT) secara menyeluruh, serta memperkuat perlindungan data-data pemilih supaya tidak disalahgunakan pada momen pemilihan suara Pemilu 2024.

“Rekayasa data rekapitulasi dimungkinkan. Pertama, karena artinya sistem keamanan IT, internet platform mau pun database KPU dalam posisi tidak aman,” ujarnya di Jakarta, Jumat (1/12/2023).

Modus yang biasa dilakukan para pelaku kecurangan adalah dengan mencatut data, membuat KTP siluman, dan mencoblos pada menit-menit terakhir sebelum TPS ditutup.

“Bisa jadi akan membuat KTP palsu yang akan digunakan saat pencoblosan Pemilu 2024 pada 14 Februari mendatang. Itu harus diantisipasi, karena biasanya ketika menjelang penutupan TPS sekitar satu jam sebelumnya, dimungkinkan orang yang belum memilih bisa memilih, yang tidak terdaftar bisa menggunakan hak pilih dengan menggunakan KTP, dan biasanya mereka akan menggunakan KTP tersebut bukan di wilayah DPT,” paparnya.

Selain itu, ada metode lain yang bisa mengacaukan Pemilu. Yaitu, data diambil hacker yang masuk ke sistem KPU, lalu mengacak-acak sistem IT KPU lainnya termasuk rekapitulasi penghitungan suara.

“Potensi itu jangan dianggap sepele. Makanya harus diperkuat keamanan siber dan keamanan datanya. Kita harus antisipasi Pemilu 2024 menjadi pemilu dan pilpres yang berkualitas,” timpalnya.

Belajar dari kasus hacker Jimbo, Heru merasa KPU tidak melindungi data-data mereka dengan baik.

“Memang kalau kita lihat data-data tersebut, secara data yang formatnya memang sudah tidak melakukan enkripsi. Artinya ada ada kelalaian KPU, harusnya data tersebut dilakukan enkripsi. Maka tidak heran data-data ini mudah diretas,” katanya lagi.

Di tempat terpisah, Hadar Nafis Gumay Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) meminta KPU tidak menganggap sederhana persoalan kebocoran data pemilih dari website KPU.

Kabar kebocoran itu bisa memicu respons publik dan berimbas pada menurunnya kepercayaan publik terhadap muruah lembaga, bahkan memunculkan persepsi negatif di mata publik.

“Kita jangan menganggap enteng satu hal itu berdiri sendiri. Itu bisa merembet ke hal yang lain karena itu kan persoalan kepercayaan, persoalan persepsi,” ungkapnya.

Sekarang, lanjut Hadar, publik tengah dilanda kekhawatiran terkait data mereka yang ada di server KPU dan lebih luas pada legitimasi hasil pemilu.

Menurut Hadar, adanya anggapan kebocoran data bisa mempengaruhi hasil pemilu adalah persepsi publik saat merespons kerentanan sistem KPU.

Walau begitu, Hadar menilai terlalu jauh untuk mengaitkan kebocoran data pemilih dengan rekayasa hasil pemilu.

“Bahwa data iitu kemudian bisa dimanfaatkan ke suara, itu agak jauh. Kalau pun ada pemanfaatan, tetap ada sistem-sistem, benteng-benteng yang memagari suara yang diberikan. Tapi kalau persoalan persepsi orang, pemahaman orang, itu kan tidak semuanya tahu secara rinci,” tambahnya.

Komisioner KPU periode 2012-2017 itu melanjutkan, KPU tidak bisa lagi menjawab persoalan tersebut dengan normatif. KPU harus bersikap terbuka dan memberikan penjelasan gamblang terhadap kejadian tersebut.

“Bagi saya, kejujuran itu menjadi penting, cepat, dan kemudian membuka sebetulnya apa yang terjadi. Sehingga, masyarakat semua akan paham. Keterbukaan itu penting, selain melibatkan banyak pemangku kepentingan lain di luar yang punya kompetensi, para akademi, ahli IT, profesional IT. Jadi jangan hanya mengandalkan lembaga negara,” pungkasnya.(rid/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs