Jumat, 22 November 2024

PSHK Mendorong Lahirnya UU yang Melarang Politik Dinasti di Indonesia

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi Pemilihan Presiden 2024. Foto: Grafis suarasurabaya.net

Violla Reinanda Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mendorong larangan politik dinasti diatur secara tegas karena potensi bahaya yang ditimbulkan.

Menurutnya, memperkuat undang-undang yang ada diperlukan karena etik tidak bisa lagi diandalkan untuk menjaga perilaku elite maupun pejabat negara.

Tapi, dia menyadari tidak mudah untuk menetapkan larangan politik dinasti karena pernah diputus Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kita tidak bisa lagi sekadar mengandalkan etik untuk mengunci perilaku elite politik/pejabat negara, karena terbukti di peristiwa ketatanegaraan akhir-akhir ini, tidak ada sama sekali budaya malu setelah terbukti melanggar etik berat dan hukum di MK,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (24/11/2023), di Jakarta.

Sebaliknya, aturan hukum yang ada sekarang harus dimaksimalkan menjadi basis pengawasan dan penegakkan hukum.

“Misalnya soal-soal pidana pemilu, UU Tipikor, dan UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) untuk memastikan pemilu berjalan secara fair dan bersih,” jelasnya.

Lebih lanjut, dia menyarankan Pemerintah dan DPR RI segera merumuskan RUU tentang Benturan Kepentingan yang sudah menjadi rekomendasi dari Tim Percepatan Reformasi Hukum Kemenko Polhukam, untuk pemerintahan berikutnya.

Harapannya, UU tersebut bisa mengatur lebih komprehensif tentang definisi conflict of interest dalam kandidasi pemilu, politik dinasti dan cara membatasinya, sanksinya, dan lembaga yang berwenang dalam penegakkan hukum.

“Benturan kepentingan dalam pemerintahan merupakan ancaman serius terhadap integritas, transparansi, dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintahan. Bahaya utama dari fenomena ini dapat merusak prinsip-prinsip dasar demokrasi,” tegasnya.

Kalau bisa gol, dia yakin undang-undang itu bisa menjadi alat penting dalam mencegah praktik-praktik yang tidak etis dan memastikan pejabat negara bertindak dalam kepentingan terbaik masyarakat dan negara, bukan dalam kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu.

Sementara itu, Kahfi Adlan Hafiz Peneliti Perludem menilai adanya hambatan untuk membendung politik dinasti melalui jalur hukum semata.

“Saya kira memang agak sulit melarang politik dinasti melalui pendekatan hukum semata,” katanya.

Maka dari itu, dia menekankan pentingnya penumbuhan kesadaran etika dalam berpolitik, terutama pada para pejabat negara.

“Tentu yang paling penting hari ini adalah kesadaran etik para pejabat negara untuk menahan keluarganya maju dalam pentas politik,” jelas Kahfi.

Kalau kerabat dan keluarga para pejabat aktif maju dalam pertarungan pemilu, dikhawatirkan ada tindakan favoritisme yang dilakukan demi pemenangan keluarganya.

“Itu yang saat ini terjadi. Gibran Rakabuming Raka maju di gelanggang Pilpres 2024, saat sang ayah Joko Widodo masih menjabat Presiden RI. Ini juga potensial terlihat gamblang menjelang masa kampanye ketika putra presiden menjadi cawapres,” pungkasnya.

Terkait politik dinasti, Herman Khaeron Kepala Badan Pembinaan Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan (BPOKK) Partai Demokrat mengaku partainya tidak resah.

Menurut Herman, dalam kontestasi politik yang mulai memanas, saling serang menyerang itu hal yang wajar. Demokrat, kata dia, berusaha untuk bertahan dari segala serangan yang dialamatkan kepada pasangan Prabowo-Gibran.

“Kami berupaya untuk defense, mempertahankan argumentasi dan saya kira rakyat sudah sangat mengerti dan kami yakin betul bahwa rakyat sudah mengerti,” ujarnya beberapa waktu lalu, di Jakarta.

Dia memandang serangan itu justru menguntungkan pihak Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.(rid/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
33o
Kurs