Firman Noor Peneliti Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, Joko Widodo Presiden sudah lama terbuai kekuasaan.
Sehingga, Jokowi kehilangan sinsitivitas, lalu merasa dirinya selalu benar, dan akan selalu mendapat dukungan politik.
“Kalau satu kekuasaan sedemikian diagungkan, dibela, demikian ditafsirkan selalu secara positif, dibenarkan meski salah, dalam waktu lama, hilang sensitifnya, ada sindrom ketidaksensitifan,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (15/11/2023), di Jakarta.
Firman khawatir Jokowi malah menghabisi balik orang-orang yang mengkritik. Dia menduga Jokowi memiliki inner circle dengan prinsip Asal Bapak Senang (ABS) yang kemudian kebal terhadap kritik atau masukan.
“Ini mengidentifikasikan bagaimana Jokowi melihat kekuasaan, mencerminkan pandangan dia terhadap demokrasi yang tidak menggembirakan,” imbuhnya.
Menurut Firman, dengan kondisi yang ada sekarang, kritik akan sulit dibungkam.
“Semakin ada aksi-reaksi. Semakin penguasa bersikap tidak sensitif, akan menyemai banyak kalangan bersikap kritis terhadap dia,” sebutnya.
Dosen Ilmu Politik di Universitas Indonesia (UI) itu menambahkan, Jokowi masih percaya diri, seolah berada di atas angi’ karena ada kelompok silent majority yang dianggap berpihak padanya.
“Jokowi merasa aman-aman saja. Sejauh kunci yang bisa melengserkan dia bisa tersentuh, itu seperti radio rusak saja,” lanjut Firman.
Telanjangnya manuver politik kekuasaan membuat dukungan terhadap Jokowi pelan-pelan berkurang.
Pascaputusan MK, sejumlah tokoh nasional dan pegiat demokrasi melontarkan kekecewaan mereka terhadap sikap Jokowi. Yang terbaru, pernyataan sikap agamawan Romo Magnis Suseno.
“Di tahun-tahun terakhir dengan dukungan Presiden mengebiri KPK. Penguasa tanpa malu mencoba membangun dinasti keluarga dan kekuasaan keluarga. Saya ulangi yang dibilang tadi yang gawat kalau orang tidak melihat bahwa itu tidak beres,” ucap Romo Magnis dalam acara bersama para tokoh nasional di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kekecewaan para tokoh itu karena sejumlah pembajakan demokrasi dengan memanipulasi hukum lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi jalan bagi Gibran Rakabuming Raka putra sulung Jokowi menjadi calon wakil presiden (cawapres).
Drama di MK, kata Romo Magnis, menunjukkan perekayasaan hukum dengan memanfaatkan intervensi dari pihak penguasa dan mempertontonkan upaya kolusi, nepotisme, dan membangun politik dinasti.
Dugaan itu makin jelas setelah Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK karena terbukti melakukan pelanggaran etik berat.
Kemudian, penggunaan alat negara oleh Pemerintah, baik dari penegak hukum, militer, hingga sumber daya ekonomi yang ada, untuk menekan pihak yang tidak sejalan, dan bahkan untuk mendukung pasangan bacapres dan cawapres tertentu.
“Netralitas negara dalam pemilu kini dipertanyakan publik,” katanya.
Sementara itu, Neni Nur Hayati Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia menilai, situasi demokrasi menjelang tahapan kampanye Pemilu 2024 semakin mengalami krisis keadaban dan moralitas.
“Situasi ini menimbulkan keresahan apalagi untuk anak-anak muda seperti saya yang mengharapkan pemilu bisa melahirkan pemimpin profetik yang bisa mengubah peradaban Bangsa semakin lebih baik. Tapi, faktanya ketika yang harus kita lalui adalah proses hukum yang cacat moral makin menunjukkan ketamakan yang semakin menjadi-jadi,” ucapnya.
Menjelang tahapan kampanye, sambung Neni, para menteri yang masuk koalisi mulai menggelontorkan program bansos.
“Memangnya Indonesia ini terus menerus kondisinya darurat. Sehingga, program-program bansos dengan sengaja dilakukan saat masuk tahapan kampanye? Apalagi, nanti semua hasil pemilu ketika muncul perselisihan sengketa hasil semua ujungnya di MK. Sementara, kita tau saat ini bagaimana kondisi MK,” ungkapnya.
Maka dari itu, Neni menilai suara kritis dan panduan moral dari para tokoh Bangsa patut selalu digaungkan. Apalagi ketika tahapan pemilu yang tengah berlangsung dan potensi kecurangan yang masif.
Dia menilai hukum sudah dijadikan alat melanggengkan kekuasaan, semua aturan main diperalat dengan menghalalkan segala cara supaya tujuannya tercapai.
“Untuk mengontrol jalannya pemilu saya kira saat ini memang kita butuh para muadzin bangsa yang terus menyuarakan secara lantang tentang keresahan yang terjadi dan permasalahan bangsa yang kian terpuruk,” pungkasnya.
Sementara itu, Herzaky Mahendra Putra Wakil Komandan Komunikasi Tim Kampanye Nasional atau TKN Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka membantah anggapan Gibran merupakan calon wakil presiden atau cawapres cacat hukum.
Menurutnya, pelanggaran etik para hakim tidak serta-merta membatalkan putusan MK. Dia mempersilakan pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan MKMK mengajuan permohonan uji materi untuk mengadili norma baru.(rid/ipg)