Sabtu, 23 November 2024

Amnesty International Tunjukkan Temuan Internasional yang Sebut Jokowi Gunakan Hukum untuk Mengontrol Parpol

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International (tiga dari kiri) dalam diskusi membahas Oligarki dan Dinasti Politik, Selasa (14/11/2023). Foto : Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International mengatakan terjadi gejala resesi demokrasi dengan menguatnya mobilisasi populisme. Itu bisa ditandai dengan Joko Widodo (Jokowi) Presiden menggunakan pendekatan politik populisme, dibangun lewat Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep dua anaknya.

Hal itu disampaikan Usman di hadapan sejumlah rektor perguruan tinggi, pengamat, dan aktivis demokrasi di Indonesia dalam diskusi membahas Oligarki dan Dinasti Politik di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (14/11/2023).

“Apa saja gejala-gejala demokrasi kita mengalami resesi. Mobilisasi populisme. Jokowi sangat kental dengan ini. Sekarang yang dibangun dengan Kaesang dan juga dengan Gibran bukan hanya politik dinasti tetapi membangun populisme. Seolah-olah ada seorang penyelamat anak muda yang akan memperbaiki Indonesia dari segala ancaman-ancaman itu,” kata dia.

Usman mengatakan demokrasi Indonesia tentang kebebasan sedang mengalami resesi. Demikian juga demokrasi secara ekonomi tentang kesejahteraan dan keadilan sosial, sedang mengalami resesi.

Karena itu, dia meragukan pelaksanaan Pemilu 2024 nantinya akan berjalan jujur dan adil.

“Mungkin pemilu tahun depan menjadi pemilu pertama di era reformasi yang tidak jujur dan tidak adil. Karena itu kita harus menghentikan kemungkinan itu terjadi,” kata dia.

Dia juga mengutip temuan Freedom House yang menyebutkan skor kebebasan Indonesia mengalami penurunan sejak 2017 hingga 2023.

“Ini sudah kami ingatkan dari tahun pertama Jokowi berkuasa,” tambah Usman.

Usman juga menyoroti hukum represif yang terjadi di Indonesia. Menurut dia, hal itu sebenarnya bukan karena kultur kekerasan atau aparat yang arogan. Namun, aparat dipaksa harus melaksanakan agenda pembangunan atau mengamankan investasi.

“Tentara-polisi jadi instrumen pemerintah yang berkuasa, kembali menjadi instrumen pembangunan, bukan alat negara di sektor pertahanan,” kata Usman.

Usman juga mengutip temuan Dosen University of Sydney Thomas Power yang menyebutkan menguatnya penyalahgunaan kekuatan hukum sebagai senjata untuk mengendalikan kekuasaan berbasis partai.

Dalam tulisan Thomas Power, lanjut Usman, 5 tahun pemerintahan Jokowi banyak sekali yang menunjukkan aparat hukum sebagai senjata untuk mengendalikan parpol.

“Jadi, saya kira sekarang bukan hanya polisi dan jaksa yang digunakan sebagai senjata untuk mengendalikan oposisi tetapi juga KPK,” kata dia.(faz/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs