Sabtu, 23 November 2024

IPO Tuding Intervensi Dinasti Politik Jokowi dalam Pilpres Merusak Tatanan Demokrasi

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi kampanye pemilu. Foto: Grafis suarasurabaya.net

Dedi Kurnia Syah Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion mengatakan, peran Joko Widodo Presiden dalam pentas politik nasional luar biasa.

Menurutnya, Jokowi pandai mengatur segala hal supaya tercapai tujuannya lalu ‘cuci tangan’ seolah tidak mengetahui dengan berbagai macam alasan.

“Jokowi punya keahlian membangun opini pembelaan. Walau dalam posisi yang keliru, tapi mahir memutar situasi seperti menjadi benar,” ujarnya di Jakarta, Kamis (9/11/2023).

Besarnya pengaruh dan kuasa Jokowi, lanjut Dedi, membuat Prabowo Subianto kehilangan sikap kesatrianya.

“Yang memprihatinkan, Prabowo sebagai figur yang seharusnya menjadi ksatria justru terlibat dalam tindakan nepotisme,” imbuhnya.

Dedi melanjutkan, kesombongan dan pengabaian terhadap aturan hukum kelompok orang di lingkaran Jokowi karena disokong Presiden. Sehingga, kepercayaan diri mereka akan terus tumbuh walau secara kasat mata melakukan pelanggaran konstitusional dan juga etika.

Bukan cuma mengintervensi putusan MK, dia menyebut Presiden juga membiarkan anak buahnya terlibat kampanye politik. Padahal, jelas-jelas dia menginstruksikan pejabat pemerintah bersikap netral.

“Dengan adanya anggota kabinet, Raja Juli Antoni, Bahlil Lahadalia, Budi Arie Setiadi, dan lainnya dalam aktivitas kampanye Gibran, itu sudah jelas Presiden menjadi sumber masalah. Dengan adanya indikasi kepentingan Jokowi di atas segalanya, sulit untuk berharap dia bersikap negarawan, memastikan stabilitas hukum dan politik di Indonesia,” timpalnya.

Dedi menyebut kepongahan orang-orang dekat Jokowi seperti Anwar Usman yang justru melawan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang mencopotnya dari jabatan Ketua MK.

“Negara ini akan dianggap sebagai milik Jokowi ketika nepotisme dibiarkan tumbuh. Maka dari itu, wajar jika Anwar Usman melawan, dia seperti mendapat jaminan untung dan menang,” kata Dedi.

Sebelumnya, dalam konferensi pers, Rabu (8/11/2023), Anwar Usman merasa difitnah melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi.

Padahal, dia terbukti membiarkan MK diintervensi pihak luar dalam memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Terkait itu, Anang Zubaidy Direktur RISE Institute menilai pembelaan Anwar Usman justru merendahkan citra dan martabat pribadi.

“Pembelaan diri yang disampaikan Anwar Usman itu bentuk pembelaan diri yang tidak perlu. Menurut hemat saya justru merendahkan citra dan martabatnya sendiri. Itu kan pelanggaran berat. Kalau kemudian yang bersangkutan masih menganggap dirinya sebagai korban, itu kan kurang pas, playing victim,” sambungnya.

Dosen Hukum Tata Negara FH UII Yogyakarta itu menambahkan, pernyataan Anwar Usman sebagai korban fitnah tidak sesuai fakta. Anwar Usman diketahui pernah mengenalkan diri sebagai Ketua MK dan bagian dari keluarga Jokowi.

“Itu seolah menunjukkan saya sebagai bagian dari keluarga istana yang butuh rekognisi dari pihak lain,” ungkapnya.

Menuru Anang, frasa fitnah yang digunakan Anwar Usman juga tidak pas lantaran pelanggaran etik berat Anwar Usman sudah dibuktikan MKMK.

“Kan kata fitnah itu harus dibuktikan kebenarannya. Mekanisme pembuktian itu ada di persidangan MKMK,” timpalnya.

Walau putusan MKMK tidak sesuai harapan publik yang menghendaki Anwar Usman diberhentikan sebagai Hakim Konstitusi, dia berharap ke depan pengawasan MK lebih ketat.

“Saya pribadi juga kecewa dengan putusan MKMK. Tapi, itu sudah menjadi fakta hukum yang harus kita terima. Masyarakat tidak perlu memperpanjang masalah ini. Cukup fokus untuk mengawasi MK ke depan, supaya tetap bisa menjaga martabatnya,” pungkasnya. (rid/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs