Mahfud Md Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) mengatakan, keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), di luar perkiraan.
Menurutnya, MKMK yang dipimpin Jimly Asshiddiqie sudah mengambil keputusan yang sangat berani.
Dalam keterangannya, siang hari ini, Rabu (8/11/2023), di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, dia bilang memprediksi MKMK memberikan sanksi kepada Anwar Usman berupa teguran keras atau skors selama enam bulan tidak boleh memimpin sidang.
Sejalan dengan pemberhentian sebagai Ketua MK, Anwar Usman juga tidak berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai Pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai Hakim Konstitusi berakhir.
Adik ipar Joko Widodo Presiden itu juga tidak diperbolehkan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan perkara perselisihan hasil pemilu mendatang.
Dengan sanksi tersebut, Anwar Usman yang sudah menjadi Hakim Konstitusi dari tahun 2011 tidak bisa melakukan banding melalui majelis banding MK.
“Di luar ekspektasi saya sebenarnya MKMK bisa seberani itu. Ternyata diberhentikan dan tidak boleh memimpin sidang selama pemilu. Itu kan bagus, berani. Kalau dipecat beneran, itu ada bandingnya. Akan tetapi, kalau diberhentikan dari jabatan dengan hormat, itu tidak bisa naik banding. Itu selesai. Naik banding bukan saja berisiko tidak memberi kepastian, melainkan bisa saja hakim bandingnya itu masuk angin,” ujarnya.
Seperti diketahui, MKMK memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi karena melakukan pelanggaran kode etik berat.
Anwar Usman terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi dalam proses pengambilan putusan uji materi Undang-undang Pemilu dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres dan cawapres.
Putusan itu dibacakan Jimly Asshiddiqie selaku Ketua MKMK, didampingi Bintan Saragih, dan Wahiduddin Adams, Selasa (7/11/2023), di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Walau memberikan sanksi berat, MKMK menyatakan tidak berwenang mengubah Putusan MK tentang batas usia minimal capres dan cawapres, karena kewenangannya sebatas mengadili pelanggaran etik Hakim Konstitusi.(rid/faz)