Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan daftar calon tetap (DCT) anggota DPR RI pada Jumat (3/11/2023) lalu. Saat ini ada 9.917 orang yang masuk dalam daftar calon sementara (DCS).
Nama dan detail calon diunggah ke laman resmi KPU di infopemilu.kpu.go.id. Melalui laman ini, masyarakat bisa mengenal calon legislatif (caleg) di wilayah masing-masing pemilih.
Namun, KPU belum bisa membuka latar belakang atau riwayat caleg. Sebab mereka harus mengantongi izin dari partai politik.
Hasyim Asy’ari Ketua KPU RI menjelaskan bahwa di dalam daftar riwayat hidup, ada data pribadi yang dalam satu sisi menurut undang-undang perlindungan data pribadi, juga harus dihormati bersama-sama. Oleh sebab itu KPU akan meminta izin ke partai politik terlebih dahulu.
Menyikapi hal itu, Titi Anggraini Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dijelaskan apa saja poin yang dikecualikan. Mulai dari riwayat kesehatan atau transaksi perbankan.
“Yang perlu dipahami, ini orang-orang yang mau menjadi wakil rakyat dan mewakili publik. Tentu saja publik berkepentingan untuk tahu dan mengenal mereka. Sebab publik ingin memilih orang yang punya kompetensi yang sesuai,” terang Titi dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (7/11/2023).
Titi mengatakan, riwayat pendidikan juga penting diketahui untuk background check calon wakil rakyat. Selain itu juga harus dilihat riwayat pekerjaannya.
“Ini penting untuk menilai apakah ada benturan kepentingan saat nanti ia menjabat dan kiprah dia sebelumnya. Jangan sampai mereka duduk di komisi yang sesuai dengan bisnis yang dikelola,” terang alumnus Universitas Indonesia (UI) itu.
Titi mengatakan, memang ada batasan yang menjadi rahasia pribadi dan dilindungi sebagai informasi yang dikecualikan. Ada pula yang merahasiakan dengan alasan di rumahnya ada anak kecil dan sebagainya.
Menurutnya, masalah ini juga terjadi di salah satu negara bagian di Amerika Serikat. Pada akhirnya data tersebut tetap dibuka dengan pertimbangan kepentingan publik yang jauh lebih besar daripada kepentingan individu.
“Sebab ada saja orang yang mengaku tinggal di kelurahan A, tapi publik tahu rumahnya tidak di sana. Itu jadi pertimbangan. Karena kita dalam sistem Pemilu yang proporsional dan terbuka, tidak mau membeli kucing dalam karung,” jabarnya.
Titi mengatakan, caleg atau partai politik tidak perlu mencari-cari alasan. Jika alasannya terkait Nomor Induk Kependudukan (NIK), itu bisa ditutup oleh KPU. Namun informasi seputar keluarga, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, organisasi, dan lainnya itu ada di profil riwayat hidup yang semestinya dibuka.
“Kalau belum apa-apa sudah menutup diri dari publik, lalu yang mau diwakili itu siapa? Ia mewakili diri sendiri, kelompoknya, atau siapa? Menurut saya kalau ada caleg yang tidak mau membuka profilnya, jangan dipilih,” tegas Titi.
Tarik ulur tentang membuka latar belakang atau riwayat caleg diharapkan menggugah kepedulian masyarakat. Bahwa masyarakat tidak bisa asal pilih atau asal coblos saat Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 nanti.
“Sekarang ada caleg yang tidak mau membuka profilnya. Menurut saya, jika sedari awal komitmen publiknya dipertanyakan, caleg yang seperti ini jangan dipilih,” terang wanita kelahiran Palembang ini
Pada Desember atau Januari nanti akan terbit Laporan Pemberi Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Pada saat itu masyarakat bisa mengecek secara langsung.
“Kebanyakan caleg kita tidak patuh untuk melaporkan. Jadi laporan itu ditulis ala kadarnya. Hal-hal seperti ini juga perlu pertimbangan kita. Sebab mereka menjadi wakil, masyarakat yang membayar. Mereka untuk dan atas nama masyarakat. Kalau diserahkan kepada orang yang tidak terbuka, yang menutup diri dari akses publik, jangan-jangan kerjanya juga penuh dengan tutup-menutup,” sentil Titi.
Titi juga mengkritisi kinerja KPU, yang terkesan hanya melayani partai politik. Dalam hal informasi publik ini, KPU seharusnya yang memegang kendali. Bukan malah konsultasi atau izin ke partai politik.
Apalagi profil adalah bagian dari persyaratan yang disetor ke KPU sebagai syarat menjadi caleg. Kalau KPU ingin melindungi data pribadi, bukan berarti seluruh dokumen dikecualikan. Jika yang dikecualikan adalah NIK, cukup bagian itu yang ditutup.
“Menurut saja sejak awal kebijakannya tidak tegas di dalam melayani publik. Terkesan terlalu melayani partai politik. Masyarakat harus lebih galak kepada KPU. Sebab mereka terlalu permisif terhadap kepentingan partai politik,” kritik Titi. (saf/ham)