Jumat, 22 November 2024

Todung Mulya Lubis: MK di Titik Nadir, MKMK Bisa Berhentikan Ketua MK

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Todung Mulya Lubis (tengah) Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud dalam Konferensi Pers dan Diskusi berjudul Menanti Putusan MKMK yang digelar Media Center TPN Ganjar-Mahfud di Rumah Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (6/11/2023). Foto : istimewa

Todung Mulya Lubis Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud mengatakan, wibawa Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini berada di bawah titik nadir terendah. Kepercayaan publik saat ini juga mulai menipis.

Menurut Todung, masyarakat menanti keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) soal pelanggaran etik hakim MK.

“Putusan besok (Selasa, 7/11/2023) jadi ujian MKMK memulihkan trust (kepercayaan) pada MK. Apakah MKMK berani mengeluarkan keputusan yang bisa mengembalikan kepercayaan terhadap MK,” kata Todung di Konferensi Pers dan Diskusi berjudul Menanti Putusan MKMK yang digelar Media Center TPN Ganjar-Mahfud di Rumah Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (6/11/2023).

Menurut Todung, untuk bisa mengembalikan wibawa MK, maka MKMK bisa memutuskan bahwa Ketua MK diberhentikan dengan tidak hormat.

“Kalau MKMK mau lebih berani lagi maka bisa saja 3 hakim MK diberhentikan. Kalau Mau lebih berani lagi maka bisa juga 5 hakim MK diberhentikan dan diganti,” kata Todung.

Todung mengatakan, di pundak MKMK trust atau kepercayaan masyarakat terhadap MK dipertaruhkan.

“Besok ada putusan MKMK, konon ada 9 hakim yang diadukan dan semua melanggar etika. Jimly Asshiddiqie Ketua MKMK bilang pelanggaran etika sudah terbukti. Namun soal sanksi ini belum jelas. Sanksinya bisa berupa peringatan, peringatan tertulis dan pemberhentian dengan tidak hormat,” kata Todung.

Todung mengatakan, dirinya tidak pernah melihat MK di titik nadir terbawah seperti saat ini. Terjadi degradasi wibawa MK.

“Dulu Akil Mochtar dan patrialis Akbar kasus korupsi. Apa yang terjadi sekarang bukan korupsi uang tapi korupsi konstitusi,” kata Todung.

Menurut Todung, di dalam MK terlihat jelas ada konflik kepentingan. Sebab seorang hakim tidak boleh memutus perkara yang ada konflik kepentingan keluarga. Kalau hakim itu tetap memaksa ikut memutuskan dalam putusan perkara itu maka putusannya bisa disebut cacat hukum.

Todung menilai apa yang dilakukan Ketua MK bukan hanya soal pelanggaran etika tapi lebih dari itu apa yang dilakukannya adalah sebuah pelanggaran hukum.

“UU memberikan jalan pemberhentian karena perbuatan tercela. Jimly perlu memberhentikan dengan tidak hormat Anwar Usman Ketua MK. Apakah mungkin? Kita tunggu dan lihat besok. Namun bila mengutip pernyataan Jimly disebut jelas ada pelanggaran etik Ketua MK,” tegas Todung.

Todung mengatakan, kepercayaan publik terhadap MK dirusak oleh putusan MK No.90/PUU-XXI//2023. Putusan ini telah merusak tatanan kehidupan bernegara.

“Kalau itu dibiarkan dan kita permisif maka ini jadi preseden buruk yang akan diulangi di masa depan,” kata Todung.

Todung mengatakan, dirinya melihat perkara ini bukan soal conflict of interest tapi sebenarnya perkara itu tidak bisa diuji karena sudah diuji sebelumnya pada perkara yang sama di sidang MK pada pagi harinya.

“Banyak yang janggal misal soal legal standing yang tidak ditandatangani. Juga ketidakterbukaan Ketua MK yang tidak mengakui punya benturan kepentingan. Lalu soal Ketua MK sakit atau tidak sakit. What’s going on, what’s wrong,” ucap Todung.

Todung menilai apa yang terjadi saat ini Indonesia set back ke situasi sebelum 1998.

Jadi, kata dia, kalau bangsa Indonesia ingin merawat kehidupan bernegara maka harus mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga MK.

Soal kemungkinan apakah putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 bisa dibatalkan, Todung menjawab bila melihat pandangan konservatif maka putusan MK tidak bisa diubah.

Namun, kata Todung, gugatan terhadap putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan Deny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar bisa saja MK mengubah putusan MK tersebut.

Sebab seharusnya MK hanya bisa berfungsi sebagai negatif legislatif dan tidak bisa membuat norma baru.

“Namun apakah ada keberanian hukum dari hakim-hakim MK untuk melakukan itu? Pandangan konservatif tidak ada putusan MK yg bisa digugat. Tapi melihat proses dan kejanggalan, maka itu bisa dilakukan,” kata Todung.(faz)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs