Sabtu, 23 November 2024

YLBHI: Jokowi Presiden Punya Andil atas Terjadinya Krisis Konstitusi

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Spanduk aksi protes BEM Nusantara kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar di Taman Apsari Surabaya, Rabu (25/10/2023). Foto: Wildan suarasurabaya.net

Muhammad Isnur Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) rusak usai keluarnya putusan terkait batas usia capres-cawapres.

Menurutnya, krisis konstitusi itu bukan semata terjadi akibat kesalahan MK, tapi juga ada andil dari Joko Widodo Presiden.

“Ini pembelajaran penting bagi Jokowi. Sebagai Kepala Negara, dia melakukan tindakan-tindakan yang melawan konstitusi. Jadi, ini kesalahan bukan hanya di MK, tapi juga di Presiden yang mendorong anaknya untuk jadi cawapres,” ujarnya di Jakarta, Jumat (3/11/2023).

Isnur melanjutkan, banyak masyarakat yang kecewaan atas putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023). Makanya, kekecewaan publik harus dipulihkan kembali.

“Karena putusan sebelumnya lahir dari kecacatan dalam putusannya. Maka, MK harus merevisi kembali putusan kemarin, harus diubah itu semua. Ini memang sudah sangat rusak, dan sudah sangat terpuruk. Kita sudah kehilangan kepercayaan terhadap MK. Sekarang, apa gerakan atau solusi berikutnya? Nah, di situ kemudian pentingnya MKMK memberikan keputusan yang baik,” paparnya.

Ketika MKMK tidak mampu menghasilkan putusan yang baik, dia menilai kondisinya akan tetap sama. Untuk itu, MKMK harus berani mengeluarkan keputusan yang tegas.

“MKMK tidak menyiratkan adanya perubahan yang baik, ada situasi yang baik, maka kemudian tidak memberikan dampak apa-apa. Pertanyaannya kemudian apakah kemudian MKMK berani memecat Anwar Usman? Apakah MKMK berani memberikan peringatan tegas, larangan konflik kepentingan misalnya,” tambahnya.

Sementara itu, Jimmy Z. Usfunan Direktur Isu Strategis Pusat Studi Hukum Konstitusi dan Pemerintahan (Pushan) mengatakan, publik sangat menanti keputusan MKMK atas laporan laporan dugaan pelanggaran kode etik Hakim MK.

“Kita berharap pada MKMK agar nanti dalam putusannya benar-benar menghasilkan putusan etik yang objektif dengan mendasarkan pada fakta-fakta yang didapat,” kata Jimmy.

Akademisi Hukum Tata Negara FH Universitas Udayana itu bilang, masyarakat sudah mengendus Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, cacat prosedur dan cacat substansi.

“Cacat prosedur dikarenakan Permohonan tersebut sudah pernah dicabut oleh Pemohon, maka itu sudah kehilangan objek perkara maupun muncul fakta saat ini berkas permohonan tidak ditandatangani,” ungkapnya

Sedangkan dikatakan cacat substansi, dikarenakan adanya konflik kepentingan antara Ketua MK dengan obyek permohonan tersebut. Sekali pun MK itu dikatakan menguji norma, tapi norma yang diuji itu sangat bertalian dengan kontestasi pemilu, yang akan diikuti oleh Gibran yang juga keponakan dari Ketua MK.

Merujuk Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 17 ayat (5), (6), (7) yang intinya menyatakan; apabila seorang hakim yang punya kepentingan dengan perkara yang diperiksa tidak mundur merupakan bentuk pelanggaran. Sehingga, putusannya dinyatakan tidak sah, serta perkara itu bisa diperiksa kembali.

“Atas dasar itu, kepercayaan publik terhadap MKMK, sangat bergantung pada putusan etik nantinya. Jika, putusan etik melihat adanya cacat prosedur dan cacat substansial dalam penanganan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagaimana yang dilihat oleh publik, dan diputuskan adanya sanksi etik bagi hakim yang melanggar dan perkara tersebut dibuka peluang akan diperiksa kembali sesuai UU Kekuasaan Kehakiman, maka muruah dan citra MK di mata publik bisa terselamatkan,” pungkas Jimmy.(rid)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs