Dokter Moh. Adib Khumaidi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjelaskan, belum meratanya jumlah dokter di Provinsi Jawa Timur (Jatim) disebabkan tak adanya asesmen kebutuhan dokter dan dokter spesialis di setiap kabupaten dan kota.
IDI menyebut jumlah dokter di Provinsi Jatim pada tahun ini mencapai 21.000 orang. Bila mengacu standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan rasio 1:1.000. Bahwa idealnya tiap 1 dokter melayani 1.000 penduduk.
Sedangkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), total penduduk Jatim sudah mencapai 41.416.407 jiwa. Artinya jumlah dokter di Jatim masih kurang, khususnya di daerah.
Oleh karena itu, Adib menjelaskan pentingnya asesmen kebutuhan dokyer bagi pemerintah kabupatan dan kota bertujuan untuk mengetahui berapa jumlah kebutuhan dokter umum dan spesialis di masing-masing daerah.
“Jadi ukurannya jangan nasional. Rasio itu per kabupaten/kota. Dari situ nanti kemudian, menjadi penting. Apakah semua daerah butuh spesialis sub yang canggih? Belum tentu,” kata Adib waktu ditemui di kantor IDI Jawa Timur, Surabaya, Kamis (19/10/2023).
Ketika asesemen dilakukan, maka kebutuhan dokter di sejumlah daerah bisa terlihat. Mana wilayah yang sudah terpenuhi kebutuhan dokternya dan belum. Dari situ, menurut Adib, proses pemerataan dokter bisa dilakukan.
“Pada saat punya asesmen, maka daerah itu bisa mengatakan dokter kami sudah lebih nih. Ayo kita dorong untuk daerah lain yang masih kosong,” tuturnya.
Ketum PB IDI itu menyatakan, daerah yang sudah terpenuhi kebutuh dokternya harus membuat pemberitahuan tentang penuhnya kuota dokter di wilayah tersebut. Sehingga izin pembuatan Surat Izin Praktek (SIP) di wilayah itu tidak diterbitkan lagi.
“Itu supaya dokter bisa tersebar. Nah kebijakan ini yang belum ada,” jelasnya.
Meski begitu Adib menyadari bahwa setiap dokter umum dan spesialis pasti mencari wilayah dengan tingkat ekonomi tinggi. Menurutnya hal itu manusiawi, karena sekolah kedokteran tidak dibiayai negara tapi memakai biaya sendiri.
Pihak pemerintah sebetulnya sudah melakukan upaya terkait masalah pemerataan dokter di daerah. Kata Adib pemerintah telah memberikan beasiswa dan kontrak bagi calon dokter untuk pergi ke daerah-daerah.
Sehingga dokter umum/spesialis ditempatkan menjadi tenaga strategis, yang dari awal ditempatkan di suatu daerah yang kekurangan dokter.
“Ini yang sudah dilakukan. Meski secara jumlah masih belum cukup, tapi ini yang kita dorong. Tapi pada prinsipnya dokter-dokter ini mau ke daerah,” imbuh Adib.
Namun menurut penelitian dari PB IDI, ada sejumlah faktor yang memengaruhi pilihan dokter untuk bekerja di daerah. Yakni terkait jenjang karir, insentif, lalu sarana dan prasarana.
“Jadi kalau dokter sekolah spesialis tapi sarana dan prasarana tidak mendukung, ya tidak bisa kerja. Lalu yang terakhir tentang security atau keamanan, khususnya di daerah Papua,” ujar Adib. (wld/saf/ham)