Jumat, 22 November 2024

Kuasa Hukum KOPI dan FPL Akan Lengkapi Gugatan Class Action

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Saputro alias Pokemon (topi putih) koordinator KOPI dan FPL saat berkomunikasi dengan Felix Danggur salah satu kuasa hukumnya di depan PN Surabaya, Senin (3/9/2018). Foto: Denza suarasurabaya.net

Kuasa Hukum Komunitas Pemuda Independen (KOPI) dan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) Jarak Dolly akan melengkapi gugatan class action terhadap Pemkot Surabaya yang tidak diterima Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (3/9/2018).

Gugatan class action kelompok KOPI dan FPL itu berisi tuntutan ganti rugi hak sumber ekonomi warga Jarak Dolly yang terdampak penutupan lokalisasi prostitusi Jarak Dolly oleh Pemkot Surabaya, pada periode awal kepemimpinan Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya, 2014 silam.

Mereka menggugat dua pihak, yakni Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya dan Irfan Widyanto Kepala Satpol-PP Surabaya, dengan tuntutan ganti rugi untuk warga terdampak yang mencapai Rp240 miliar.

Gugatan ini telah diajukan ke PN Surabaya oleh kelompok KOPI dan FPL sejak sekitar dua bulan lalu. Hari ini, Majelis Hakim membacakan keputusan atas gugatan tersebut di Ruang Cakra PN Surabaya.

Majelis hakim yang diketuai Hakim Dwi Winarko memutuskan, gugatan class action yang diajukan kelompok KOPI dan FPL tidak sah karena belum melengkapi tata cara atau mekanisme pendistribusian ganti kerugian yang dituntut dari Pemkot Surabaya.

Sesuai Pasal 3 ayat (1) huruf f. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (class action), tuntutan ganti rugi harus memuat usulan mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian untuk seluruh anggota kelompok.

Majelis Hakim juga menganggap, gugatan class action itu belum memuat usulan pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti rugi itu. Karena itulah mereka menyatakan tidak menerima gugatan itu.

Felix Danggur salah satu tim kuasa hukum KOPI dan FPL mengatakan, pihaknya menerima penolakan gugatan mereka dengan lapang dada. Namun, tim kuasa hukum masih akan menentukan sikap di kemudian hari.

“Hakim menyatakan, seharusnya gugatan ini adalah gugatan perdata yang masuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) 90 hari sejak perkara, kan tidak bisa. Gugatan ini dinyatakan tidak lengkap, maka kami akan berupaya melengkapi,” ujarnya kepada suarasurabaya.net.

Felix mengatakan, timnya belum memutuskan apakah akan mengajukan kembali gugatan class action yang sudah dilengkapi.

“Kami akan bicarakan dulu dengan semua kuasa hukum, apa yang terbaik harus kami lakukan. Sekarang, kami meminta kelompok yang mana kami sebagai kuasa hukumnya, supaya membubarkan diri dulu dan menerima putusan ini dengan lapang dada,” ujarnya.

Perseteruan Sesama Warga Eks Lokalisasi Jarak Dolly

Saputro Koordinator Kelompok KOPI dan FPL yang biasa dipanggil Pokemon, di sela-sela aksi unjuk rasa di depan PN Surabaya, Senin, mengatakan, ditolaknya gugatan class action mereka hanyalah akal-akalan majelis hakim yang sudah terpengaruh oleh pihak luar.

“Ini bukti kegagalan hukum di Indonesia. Ada pihak luar yang mempengaruhi keputusan pengadilan negeri. Kami ini hanya memperjuangkan hak warga Jarak Dolly yang terdampak penutupan, yang sampai saat ini tidak tersentuh revitalisasi ekonomi,” ujarnya.

Pokemon membenarkan revitalisasi ekonomi pascapenutupan lokalisasi prostitusi Jarak Dolly sudah dilakukan oleh Pemkot Surabaya terhadap Pekerja Seks Komersial (PSK) dan Mucikari, tapi dia mengklaim, masih ada elemen masyarakat yang tidak tersentuh.

“Kami di sini memperjuangkan nasib SPG Rumah Musik, Tukang Parkir, dan PKL (Pedagang Kaki Lima) di eks lokalisasi Jarak Dolly yang lapangan pekerjaannya hilang, sementara UKM yang dibentuk oleh Pemkot di Wisma Barbara itu hanya kamuflase, coba lihat apa ada kegiatan di sana kalau tidak ada kunjungan dari luar?” Katanya.

Pokemon mengklaim, warga yang tergabung dalam KOPI dan FPL 90 persen di antaranya adalah warga Jalan Jarak yang ber-KTP setempat. Hanya 10 persen saja yang merupakan warga luar Jalan Jarak.

“Kalau kami tidak memiliki rumah di situ, memang benar. Tapi para Tukang Parkir, PKL, dan SPG Rumah Musik di Jalan Jarak memiliki KTP beralamat tinggal di Jalan Jarak. Dan kami tidak bermaksud membuka lagi prostitusi di Jarak Dolly,” ujarnya.

Sementara, ada kelompok warga lain yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Forum Komunikasi Warga Jarak Dolly (Forkaji) yang terdiri dari Ketua RT, RW, dan warga setempat menolak keberadaan KOPI dan FPL.

Cahyo salah seorang warga koordinator Forkaji mengatakan, apa yang dilakukan KOPI dan FPL hanyalah kedok untuk kembali melegalkan prostitusi di kawasan Jarak Dolly.

“Rumah Musik sudah mereka dirikan kembali di RW 10 dan RW 11, di Gang 3, Gang 4, Gang 7, dan Gang 8. Coba Anda cek di sana. Makanya, kalau mereka menyuarakan revitalisasi ekonomi itu palsu,” katanya.

Forkaji didukung oleh sejumlah Banser wilayah Surabaya dalam aksi mereka di PN Surabaya, Senin. Kelompok Forkaji datang lebih dulu sekitar pukul 09.00 WIB disusul kedatangan kelompok KOPI dan FPL pukul 10.00 WIB.

Mereka sempat berhadap-hadapan dan berorasi di atas mobil komando masing-masing tanpa terjadi gesekan fisik akibat provokasi atau lainnya sampai akhirnya membubarkan diri pukul 11.30 WIB.(den)

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs