Sabtu, 23 November 2024

Hakim Pengadilan Tipikor Sebaiknya Tidak Hanya Dari Ahli Hukum

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Daniel Dhakidae (tengah) Pengamat Korupsi dalam "Diskusi Korupsi" di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (4/9/2018). Foto: Faiz suarasurabaya.net

Daniel Dhakidae pengamat korupsi mengatakan korupsi yang begitu kompleks atau rumit harus diatasi dengan beberapa solusi.

Dia mencatat, ada tiga solusi dalam memberantas korupsi, yaitu pertama adalah State Decisionatau keputusan yang diambil oleh penguasa atau negara. Artinya dikeluarkannya surat perintah oleh Presiden RI untuk menindak apapun yang terjadi dengan korupsi dengan suatu tingkat penghukuman, seperti yang dilakukan di China, Korea Selatan dan beberapa negara lainnya.

Yang kedua, kata Daniel, adalah Teknokratis yaitu ahli-ahli melakukan pemeriksaan dalam satu kasus. Dan yang ketiga adalah gabungan dari state decision dan teknokratis.

“Konkritnya, Tipikor jangan hanya sarjana hukum, karena korupsi bukan hanya soal pasal, karena korupsi itu suatu gejala sosial politik ekonomi yang ruwet yang tidak mudah dipahami begitu saja oleh seorang ahli hukum,” ujar Daniel dalam sebuah “Diskusi Korupsi” di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (4/9/2018).

Untuk itu, menurut Daniel, pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) harus diisi dari beberapa hakim yang tidak hanya dari ahli hukum saja, tetapi juga dari latar belakang administrasi negara, ekonomi, maupun politik.

“Maka tipikor itu hakim-hakimnya harus gabungan dari berbagai ahli, seperti ahli ekonomi, politik , ahli administrasi negara, maupun ahli hukum itu sendiri,” jelasnya.

Saat ini, kata dia, pemberantasan korupsi tidak serius, karena yang diperiksa hanya ayat dan pasal-pasal dalam Undang-Undang saja.

“Saya pikir kita tidak serius dalam mengurus korupsi itu. Yaitu yang diperiksa hanya ayat, dan karena itu hanya ahli hukum yang bekerja disana, melanggar ayat ini, melanggar pasal ini, juncto ini dan lainnya,” tegasnya.

Menurut Daniel, korupsi itu bukan soal ayat, bukan soal juncto dan lainnya, tetapi korupsi itu soal ekonomi, politik, dan hukum yang bergabung disana. Karena itu kalau sekiranya Indonesia serius memberantas korupsi itu maka harus ada pembuktian terbalik.

“Tidak bisa korupsi yang besar hanya diperiksa dengan pasal, ayat dan sejenisnya. Harus dengan pembuktian terbalik. Korupsi hanya terjadi dengan urusan harta publik, tidak ada korupsi dengan PT (Perseroan Terbatas) ini atau PT itu,” tegasnya.

Pembuktian terbalik, kata dia, bisa dilakukan apabila seorang pejabat publik yang gaya hidupnya diluar kebiasaan atau harta bendanya didapat diluar kebiasaan dan kekayaannya luar biasa, maka harus dilakukan dengan pembuktian terbalik dengan cara orang itu ditahan, diperiksa sampai dia mampu membuktikan dari mana harta bendanya itu. Kalau dia bisa membuktikan, maka dia bisa dibebaskan.

“Kalau seperti sekarang yang diperiksa ayat, maka tidak akan ketemu. Kalaupun ketemu, bisa ada manipulasi ayat juga. Satu ayat bisa dibantai ayat yang lain juga,” pungkas dia.(faz/tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
31o
Kurs