Mahkamah Agung (MA) pada Sabtu (30/9/2023) lalu, akhirnya memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencabut dua aturan yang dinilai mempermudah mantan narapidana (napi) kasus korupsi kembali maju sebagai calon anggota legislatif (caleg).
Hal tersebut berdasarkan dikabulkannya uji materi oleh MA atas Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 Ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023 yang diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta dua eks pimpinan KPK yakni Saut Situmorang dan Abraham Samad.
Dalam putusan, MA menyatakan Pasal 11 Ayat (6) PKPU 10/2023 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022.
Sementara, Pasal 18 Ayat (2) PKPU 11/2023 bertentangan dengan Pasal 182 huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023.
MA menyatakan kedua pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Menurut Titi Anggraeni salah seorang pengamat dari Perludem mengatakan, putusan MA tersebut menjadi kemenangan masyarakat Indonesia dalam memerangi korupsi.
“Ini kemenangan untuk kita semua ya, meskipun kalau dari sisi putusan (konteksnya) bukan melarang sama sekali, tetapi meluruskan pengaturan dalam Peraturan KPU (PKPU) nomor 10 dan nomor 11 tahun 2023 tahun 2022 dan putusan mahkamah konstitusi nomor 12 tahun 2023,” kata Titi waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (2/10/2023).
Titi menjelaskan, dalam dua putusan mahkamah konstitusi tersebut, diatur bahwa mantan terpidana yang pernah menjalani hukuman minimal lima tahun atau lebih bisa mencalonkan di Pemilu Legislatif dengan syarat tertentu.
Dia merinci, syarat pertama yang bersangkutan sudah melewati masa lima tahun setelah menjalani hukuman atau bebas secara penuh. Kedua, menyatakan jujur dan terbuka bahwa dia adalah mantan narapidana, dan ketiga bukan pelaku tindak pidana berulang-ulang.
“Tetapi di dalam Peraturan KPU (sebelum dianulir MA), terdapat peraturan yang meringankan (para caleg eks napi korupsi) begitu. Jadi bisa kurang dari lima tahun, kalau ada pidana tambahan. Seperti, pencabutan hak politik kurang dari masa lima tahun (sesuai Undang-Undang). Jadi kalau seseorang dapat pidana tambahan, pencabutan hak politik misalnya tiga tahun, maka dia tidak harus menunggu masa jeda lima tahun (untuk Nyaleg lagi). Nah, inilah yang kami uji ke MA dan kami minta agar pengaturannya konsisten sesuai dengan putusan,” jelasnya.
Soal syarat jujur terbuka, Titin menegaskan bentuknya seperti pengumuman yang tidak hanya di media massa. Menurutnya, masyarakat tidak semuanya mampu dan bisa mengakses pemberitaan di media.
“Jadi ini yang kemudian menjadi catatan kami meminta KPU itu juga mengumumkan kepada publik. Bukan hanya pengumuman mandiri oleh para mantan terpidana (yang nyaleg), tetapi juga KPU mempublikasikan riwayat hidup termasuk status dari para calon, kalau dia adalah mantan terpidana,” bebernya.
Oleh karenanya, lanjut peneliti Perludem itu, baik dengan putusan MA atau peraturan-peraturan tersebut, diharapkan tidak ada lagi karpet merah untuk eks koruptor terkait hal politik mereka, seperti mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
“Itu adalah ikhtiar yang kami (Perludem dan ICW) lakukan, agar tidak ada karpet merah bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Karena, yang biasanya dihukum pencabutan hak pidana politik kurang dari lima tahun itu kebanyakan adalah pelaku tindak pidana korupsi. Jadi pasti karpet merahnya pasti untuk para mantan koruptor,” bebernya.
Meski demikian, kata Titin, kunci utama terpilih atau tidaknya eks napi koruptor sukses mencalonkan diri ada pada masyarakat. Mengingat, di Indonesia sendiri masih belum ada Undang-Undang perampasan aset yang memungkinkan untuk memiskinkan para napi korupsi.
“Apalagi kalau mereka (eks napi korupsi) sudah terlanjur punya jejaring dan basis masa yang kuat, jadi simpatisannya tuh lebih dominan daripada yang melihat dia sebagai pelaku kejahatan. Nah ini yang, makanya kita menunggu peran serta masyarakat, terutama media untuk terus mengingatkan masyarakat jangan abai pada latar belakang dan rekam jejak para calon,” pungkasnya. (bil/ipg)