Perkara kredit macet yang menggunung pada generasi muda dengan rentang usia 19–34 tahun meningkat. Fenomena ini membuat divisi HRD (human resource development) perusahaan melakukan pengecekan skor kredit kepada pelamar kerja, termasuk fresh graduate.
Menurut Nailul Huda peneliti Center of Digital Economy and SME Institute for Development of Economics and Finance (Indef) kredit macet di usia muda meningkat pada awal sampai pertengahan 2022. Fenomena kredit macet ini pun terjadi pada usia 19 tahun ke bawah.
Alhasil, beberapa HRD menyarankan melihat BI Checking dan pinjol Checking saat akan menerima karyawan baru. Sebab, jika mereka terjerat pinjol, diyakini akan menurunkan produktivitas.
Menanggapi fenomena ini, Wibisono Hardjopranoto Guru Besar Emeritus FBE Universitas Ubaya (Ubaya) menyebut, generasi masa kini hidup dalam kondisi lingkungan yang serba digital teknologi, dan terpancing untuk berperilaku instan.
“Dari segi pendidikan, menurut ada tren menurun. Utamanya dalam budaya kritis. Artinya generasi muda ini lebih mudah untuk mencari yang gampang dan tidak mau mempelajari secara lebih dalam,” jelas Wibisono dalam program Wawasan Suara Surabaya pada Rabu (13/9/2023) pagi.
Seharusnya, menurut Wibisono, generasi muda diarahkan ke metakognitif. Artinya daya kognisinya itu tidak hanya pada satu tahap, tapi harus diperdalam lagi. Sehingga Higher Order Thinking Skills (HOTS) menjadi kuat.
“Ini dibuktikan oleh survei OJK, ternyata gap antara literasi keuangan dan inklusi keuangan itu masih lebar dan tidak bergerak,” imbuhnya.
Wibisono mengamini bahwa kemajuan teknologi membuat sikap kritis di generasi muda pun turun. “Mereka lebih mengutamakan kemudahan, kenyamanan, dan cepat. Itu yang menjadi penyebab utama fenomena itu,” terangnya.
Jadi, terkait dengan BI checking dan pinjaman online (pinjol) checking, hal ini dapat bermakna positif dan negatif. Positif jika manajer atau perusahaan mengusung motif agar karyawan bekerja rodi.
“Namun dari sudut kemanusiaan, sangat tidak etis untuk menempatkan karyawan di tempat seperti itu,” bilangnya.
Ia menambahkan, BI checking atau pinjol checking memang tidak memiliki keterkaitan secara langsung, namun hubungan tak langsung pasti ada. Sebab orang bekerja pasti memiliki motivasi. Ada tiga yang mengangkat motivasi, yakni autonomy, mastery, purpose.
“Harusnya seperti ini. Saya pernah mengalaminya sendiri. Saya memiliki pinjaman, kemudian dibantu oleh bos saya. Itu sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan,” cerita Wibisono.
Hanya saja, ada sebuah pertanyaan besar, apakah mampu future income-nya menutup defisit yang sekarang diderita. Menurut Wibisono, perusahaan bisa membantu melunasi hutang, jika gaji karyawan yang dipotong setiap bulan mampu melunasi pinjaman.
Ia juga mengamini bahwa perusahaan tidak seharusnya menutup peluang bagi mereka yang pernah mengalami kredit macet. “Namun harus kompeten dan skillful. Sehingga future income-nya itu promising,” tegas Wibisono.
Wibisono mengingatkan bahwa manusia hidup harus bersabar. Jika tidak punya kemampuan membayar, maka konsumsi harus dikendalikan. Sebatas kebutuhan, bukan keinginan. Itu prinsip dasar dalam personal finance.
“Jadi berbelanja lah dengan basis pada kebutuhan, bukan keinginan,” terasnya. (saf/iss)