Jumat, 22 November 2024

Aplikasi Pengukur Kualitas Udara Swasta Tak Sepenuhnya Representasikan Kondisi Suatu Daerah

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Mirna Agusta Kabid Pengendalian Pencemaran dan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya (kiri) bersama Achmad Eka Mardijanto Sekretaris DLH waktu mengisi program Semanggi Suroboyo di Studio Suara Surabaya, Jumat (8/9/2023). Foto: Billy suarasurabaya.net

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya menyebut aplikasi smartphone untuk mengecek kualitas udara, tak sepenuhnya merepresentasikan kondisi udara suatu daerah.

Mirna Agusta Kabid Pengendalian Pencemaran dan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati DLH Kota Surabaya mengatakan, terdapat tujuh parameter untuk mengukur kualitas udara sesuai Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) nomor 14 tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara (IPSU).

Ketujuh parameter tersebut, yakni SO2, NO2, CO, ozon, hidrokarbon, kemudian ada partikulat debu PM10 dan PM2,5. Sedangkan aplikasi yang dipakai masyarakat untuk mengecek kualitas udara itu, menurut Mirna, hanya menggunakan satu parameter.

“Jadi itu suatu platform (aplikasi) swasta yang kita gak tau dia meletakkan dimana saja, posisinya tuh by sensor dan parameternya tuh hanya satu partikulat debu 2,5 mikrometer (PM2,5),” Kata Mirna waktu mengudara di Program Semanggi Suroboyo, Jumat (8/9/2023).

“Padahal kalau secara standarnya Permen itu ada tujuh parameter tadi. Jadi ya kurang merepresentasikan karena kan itu hanya debu, sedangkan yang kita hirup kan ya ambience secara keseluruhan tadi ada ozon, oksigen dan lain-lain,” sambungnya.

Mirna menambahkan, alat pengukur kualitas udara milik aplikasi swasta tersebut juga tidak diketahui apakah peletakannya sudah sesuai dengan kriteria. Berbeda dengan milik Pemerintah Kota yang sudah disupervisi oleh Kementerian LHK.

“Jadi kalau di aturan itu (Permen LHK) kan ada di area permukiman, di area lalu lintas padat, area industri dan perkantoran,” jelasnya.

Diakui kalo pencemaran terbanyak memang berasal dari emisi sumber bergerak, seperti transportasi dalam hal ini asap buangan kendaraan bermotor, maupun emisi sumber tak bergerak seperti industri.

Namun, dia membeberkan kalau Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) Kota Surabaya untuk beberapa waktu terakhir ini statusnya memang masih dalam kategori baik hingga sedang.

Terdapat lima level yang menentukan penilaian udara suatu daerah. Untuk indeks 0-50 masuk level baik, 51-100 level sedang, 101-199 level tidak sehat, 200-299 level sangat tidak sehat, dan 300-55 level berbahaya.

“Surabaya ini dari bulan Januari kami pantau sampai 7 September kemarin itu masih dalam kondisi sedang. Pemantauan dari tiga stasiun pengukur udara kita yang berada di Kebun Bibit Wonorjo, kemudian di Tandes, yang terakhir di Kebon Sari. Jarak antar stasiun itu radiusnya lima kilometer,” bebernya.

Dalam kesempatan yang sama, Achmad Eka Mardijanto Sekretaris DLH Kota Surabaya menambahkan, ada kebijakan secara umum yang sudah ditempuh untuk menjaga kualitas udara kota.

Di antaranya, uji emisi kendaraan baik kendaraan dinas pemerintah, transportasi umum, hingga beberapa kendaraan pribadi secara acak. Selain itu, pengenaan solar cell di beberapa kantor pemerintah, penambahan ruang terbuka hijau (RTH), hingga agenda car free day (CFD) yang digelar rutin di beberapa titik.

“Itu yang terkait dengan kebijakan secara umum untuk mencegah atau meningkatkan kualitas lingkungan hidup Kota Surabaya sehingga ISPU kita bisa turun, kemudian indeks lingkungah hidup dapat lebih baik,” ungkapnya.

Dia juga mengimbau, agar masyarakat tidak membakar sampah sembarangan karena merupakan salah satu kegiatan yang bisa mencemari kualitas udara.

“Ya kita tidak menyalahkan masyarakat, mungkin pada saat ini sosialisasi kita kurang ke mereka sehingga mereka menganggap daripada jauh-jauh buang ke TPS, kita bakar aja,” ungkapnya.

Untuk itu, kedepan DLH bersama dengan organisasi perangkat daerah lain akan lebih gencar sosialisasi terkait bahaya pencemaran lingkungan, termasuk udara.

Menurutnya, menjaga kualitas udara tak bisa hanya pemerintah saja. Perlu adanya sebuah kolaborasi dan upaya aktif dari masyarakat setempat.

Kata Eka, hal tersebut bukan sebuah klise semata. Sangat tidak masuk akal kalau sebuah kota bisa berhasil menjaga lingkungan tanpa keterlibatan masyarakat.

“Jadi selama ini beberapa penghargaan yang kita terima, baik Adipura maupun yang baru kemarin, itu yang hebat bukan pemerintahnya, bukan wali kota maupun dinasnya, tapi masyarakat Kota Surabaya. Kalau kita kalau ada sosialisasi tapi tidak ada tindak lanjut dari warga ya percuma, sehingga peran aktif dari masyarakat memang kita butuhkan,” ujar Eka. (bil/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
34o
Kurs