Jumat, 22 November 2024

Kepala BMKG Ungkap Seluruh Negara Dihantui Krisis Pangan Tahun 2050

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Dwikorita Karnawati Kepala BMKG memberikan keterangan pers di Istana Kepresidenan, Jakarta. Foto: Dok/ Antara

Prof. Dwikorita Karnawati Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa ancaman krisis pangan semakin nyata dan menghantui banyak negara di dunia, seperti diramalkan organisasi pangan dunia (FAO) terjadi pada 2050.

Dalam keterangannya yang dikutip Antara, Rabu (23/8/2023), Dwikorita mengatakan kondisi ini diakibatkan kencangnya perubahan iklim seperti dilaporkan World Meteorological Organization di akhir tahun 2022 yang lalu, berdasarkan data hasil monitoring Badan Meteorologi di 193 negara di seluruh dunia.

“Kerentanan pangan ini tidak lepas dari kenaikan suhu global yang akhirnya memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air sehingga menghasilkan water hotspot atau krisis air,” ungkap Dwikorita dalam sebuah Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045 di Jakarta, baru-baru ini.

Diramalkan sebelumnya oleh FAO, tahun 2050 mendatang dunia akan menghadapi potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim. Ini merupakan konsekuensi dari menurunnya hasil dan kegagalan panen.

FAO juga memprediksi lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen dari stok pangan dunia, jadi yang paling rentan terhadap perubahan iklim.

Menurut Dwikorita, situasi ini akan terjadi di berbagai belahan dunia tanpa memandang negara tersebut besar, kecil, maju atau berkembang.

Kepala BMKG memaparkan, seluruh negara di dunia saat ini mengalami dampak perubahan iklim dengan tingkat yang berbeda-beda, seperti cuaca ekstrem, bencana alam, penurunan keanekaragaman hayati, penurunan muka air laut, krisis air, dan lain sebagainya. Karenanya, perlu tindakan konkret seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia untuk menekan laju perubahan iklim ini.

Di Indonesia sendiri, lanjut Dwikorita, tren suhu rata-rata tahunan periode 1951-2021 mengalami peningkatan temperatur 0,15 derajat Celsius per 10 tahun. Ini menandakan bahwa fenomena peningkatan suhu permukaan bahkan telah terjadi pula secara signifikan dan merata di Indonesia.

Dwikorita memaparkan bahwa pemanasan global memicu pergeseran pola musim dan suhu udara yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi.

Salah satunya adalah kejadian kekeringan akibat dipicu oleh El Nino seperti saat ini, bahkan diperparah dengan ulah manusia yang berujung pada kebakaran hutan dan lahan. Akibatnya, dapat memicu makin meningkatnya emisi karbon dan partikulat ke udara.

“Ancaman krisis pangan di pertengahan abad ini perlu menjadi perhatian bersama, maka berbagai langkah pencegahan atau pengurangan risiko krisis tersebut, melalui upaya mitigasi dan adaptasi perlu lebih serius dan kongkrit digalakkan, agar prediksi krisis tersebut tidak sampai kejadian,” imbuhnya. (ant/bil/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs