Ratusan pendemo mengaku pemilik hunian dengan status lahan surat ijo mendatangi Balai Kota Surabaya pada Selasa (15/8/2023) siang untuk menuntut status Sertifikat Hak Milik (SHM).
Mulyadi, warga Peneleh, satu di antara ratusan pemilik surat ijo secara tegas menolak wacana peralihan surat ijo menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Dirinya meminta sertifikat surat ijo diubah menjadi SHM.
“Hari ini sangat jelas kita menolak HGB di atas HPL, karena HPL itu bermasalah, cacat hukum, cacat administrasi, HPL itu sesungguhnya tanah negara, karena tanah negara maka pemkot tidak boleh menyewakan apalagi menjual belikan itu juga melanggar peraturan perundangan, terutama perundangan agraria,” kata Mulyadi waktu ditemui di sela demo, Selasa (15/8/2023).
Penolakan itu, lanjutnya, karena mekanisme membayar retribusi atau sewa kepada Pemerintah Kota Surabaya juga membayar pajak bumi dan bangunan yang dipungut Pemerintah Pusat.
“Yang terjadi kan kita nyewa atas dasar perda IPT (izin pemakaian tanah) tapi kita juga disuruh bayar PBB (pajak bumi dan bangunan). Karena itu tanah negara maka kami boleh mengurusnya menjadi SHM langsung ke BPN dengan peraturan negara bukan pemkot, karena itu semua perda yang mengatur itu IPT kami anggap tidak sah dan tidak legal,” tandasnya.
Menjawab protes surat ijo yang tak kunjung selesai, Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya menegaskan tidak akan bisa mengabulkan permintaan SHM sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah, karena lahan surat ijo merupakan aset pemerintah.
“Sudah kita lakukan mengirim surat pelepasan (lahan) yang sampai 200 meter persegi dengan tidak ada nilai bisa jadi SHM. Tapi ternyata tidak boleh karena itu aset negara,” ujarnya ditemui terpisah.
Eri minta semua pemilik surat ijo menjalankan aturan sebagaimana mestinya dan tidak lagi mempermasalahkan.
“Itu harus ada sewa kalau dilepaskan, harus ada ganti rugi sesuai appraisal. Atau bisa SHM tapi PP diubah. Tapi apa mungkin, karena PP dibuat untuk mengamankan aset negara,” jelasnya.
Eri menyebut Pemkot sedang berupaya menurunkan tarif retribusi yang harus dibayarkan warga pemilik surat ijo antara Rp275 hingga Rp500 per meter persegi.
“Itu biaya untuk membayar atau mengikat ini masih tanah HGB di atas HPL. Misal 500 rupiah kali 100 meter persegi setahun kan cuma Rp10 ribu,” imbuhnya.
Usulan itu, menindaklanjuti surat Menteri Agraria dan Tata Ruang agar pembayaran retribusi dibuat serendah-rendahnya.
“Jadi saya sampaikan nilai serendah-rendahnya. Semoga dalam waktu dekat. Karena perdanya sudah ada di Kemendagri, tinggal nunggu beberapa waktu lagi,” tandasnya.(lta/wld/ipg)