Satria Unggul Wicaksana Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya menyebut pengusungan publik figur sebagai calon legislatif (Caleg) tanpa mempertimbangkan kompetensi, bisa menghambat pertumbuhan demokrasi.
Hal itu diucapkan seiring dengan banyaknya partai politik menggaet artis terkenal jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Katanya strategi tersebut dianggap efektif dalam menarik elektoral dan memenangkan kontestasi politik.
“Sejumlah selebritas kondang tercatat maju sebagai calon anggota legislatif pada pemilihan legislatif 2024. Mereka akan bertarung dengan 580 bakal Caleg DPR lainnya,” ucapnya dalam keterangan yang diterima Suara Surabaya pada Senin (14/8/2023).
Satria menjelaskan, populisme dalam banyak kajian pakar seperti Muller dan Vedi R Hadiz, merupakan gejala serius yang menghambat demokrasi dapat tumbuh dengan baik.
Sebab aktor politik dapat berupaya keras untuk menampilkan citra yang sebenarnya bertolak belakang dari karakter dan prinsip politik yang dijalankan.
“Penggunaan berbagai kanal media sosial seperti Instagram, Twitter atau X, Threads, dan TikTok nyatanya mengkatrol populisme dan citra dari Caleg yang memiliki basis pengikut di dunia maya,” tuturnya.
“Kita tentu ingat jadinya Bongbong Marcos Jr yang merupakan anak dari Ferdinand Marcos di Filipina nyatanya mengaburkan fakta bahwa mereka lahir di keluarga diktator, karena popularitas tingginya di media sosial TikTok,” tambahnya.
Satria mengatakan, media sosial juga seharusnya didorong agar menjadi arena bebas dalam diskursus untuk melakukan tracking terhadap Caleg yang tidak melanggar integritas, memiliki kapabilitas, dan betul-betul dekat dengan rakyat.
Menurutnya, agar citra yang ditunjukkan oleh politisi jangan sampai menjadi kamuflase politik yang justru merugikan konstituen yang memilihnya.
“Maka dari itu, literasi digital masyarakat tentang kesadaran politik betul-betul harus didorong dalam rangka evaluasi lima tahunan politik yang dilakukan oleh pemilih terhadap Caleg yang akan dipilihnya,” tutupnya. (ris/saf/ipg)