Jumat, 22 November 2024

Anak dan Perempuan Jadi Perokok Aktif, Ini Kata Menteri Yohana

Laporan oleh Anggi Widya Permani
Bagikan
Yohana Yembise Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Foto: Istimewa

Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggara acara 12th Asia Pacific Conference on Tobacco or Health (APACT12th) di Nusa Dua, Bali. Tema yang diangkat yaitu “Pengendalian Tembakau untuk Pembangunan Berkelanjutan: Memastikan Lahirnya Generasi Sehat”.

Acara ini digelar sebagai bentuk komitmen negara-negara Asia Pasifik dalam upaya pengendalian tembakau yang semakin mengkhawatirkan khususnya di Indonesia.

Yohana Yembise Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengatakan, pihaknya telah menetapkan pengendalian rokok sebagai salah satu program prioritas. Hal ini disebabkan tingginya jumlah anak yang terkena dampak bahaya rokok di Indonesia.

Berdasarkan data Kemenkes 2017, sebanyak 2-3 dari 10 anak Indonesia usia 15-19 tahun merupakan perokok aktif. Bahkan, jumlah perokok usia anak (di bawah usia 18 tahun) juga meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 8,8 persen pada 2016.

“Dari data Susenas tahun 2016, ada fakta yang juga mengkhawatirkan, yaitu 34,71 persen anak usia 5-17 tahun diketahui menghisap lebih dari 70 batang rokok perminggu,” kata Yohana, melalui rilis yang diterima suarasurabaya.net, Kamis (13/9/2018).

Dia juga menambahkan, bahwa sekitar 33 persen siswa laki-laki dan 17 persen dari seluruh jumlah siswa di Indonesia, merokok untuk pertama kali pada usia di bawah 13 tahun, umumnya di bangku sekolah dasar (Kemenkes, 2016).

Selain itu, sekitar 49 persen atau 43 juta dari total 87 juta anak di Indonesia telah terpapar asap rokok (perokok pasif). Sekitar 11,4 juta atau 27 persen diantaranya, merupakan anak berusia di bawah 5 tahun atau balita (Kemenkes, 2016).

“Tembakau maupun rokok merupakan zat berbahaya, yang berdampak buruk bagi kesehatan anak di masa depan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Dampak penggunaan rokok akan dirasakan 15-20 tahun mendatang, saat anak menginjak usia produktif,” tambahnya.

Sebanyak 225.700 orang, kata dia, meninggal dunia setiap tahun akibat rokok di Indonesia, dan 7 persennya, atau sekitar 15.844 orang adalah perempuan (Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, 2018).

“Hal ini membuktikan bahwa tidak hanya anak, perempuan juga termasuk kelompok rentan, yang menjadi second-hand smoke (perokok pasif) dan berisiko sama bahayanya dengan first-hand smoke (perokok aktif). Untuk itu, perlindungan terhadap dampak tembakau tidak hanya ditargetkan kepada anak, tetapi juga kepada perempuan,” jelasnya.

Kemen PPPA, lanjutnya, terus mendorong pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak serta meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan berkelanjutan melalui pengarusutamaan gender dan pengarusutamaan hak anak.

Mengingat perempuan merupakan kunci dalam mencetak generasi emas yang sehat dan berdaya saing di masa mendatang, perempuan harus berdaya dan mampu melindungi diri maupun anak dan keluarganya dari bahaya rokok. Terkait pengendalian rokok, Kemen PPPA telah melakukan Kampanye “Anak Indonesia Hebat Tanpa Rokok” sejak tahun 2017, yang diikuti ribuan anak usia 13-17 tahun.

Sejak 2006, Kemen PPPA telah membuat kebijakan kabupaten atau kota Layak Anak (KLA) dan pada tahun 2010 direvitalisasi. Saat ini sedang disusun Peraturan Presiden (Perpres) mengenai KLA. Melalui kebijakan ini, pemerintah daerah didorong untuk meningkatkan pembangunan berbasis Hak Anak.

Ada 24 Indikator untuk mewujudkan KLA, salah satunya adalah pengendalian tembakau melalui kawasan tanpa rokok (KTR), serta pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok. Hal ini akan mendorong setiap daerah di Indonesia untuk membatasi rokok. Hingga saat ini, 389 kabupaten atau kota di seluruh Indonesia telah menginisiasi menuju KLA dan hampir separuhnya telah memiliki regulasi terkait pengaturan rokok.

Terdapat lima target strategi kebijakan KLA, terkait pengendalian rokok, yaitu langsung ke anak, dengan melatih Forum Anak (FA) menjadi Pelopor dan Pelapor (2P), melalui keluarga dengan dibangunnya Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), melalui Sekolah, dengan kebijakan Sekolah Ramah Anak (SRA); melalui lingkungan dimana ruang2 publik juga merupakan KTR, serta melalui Daerah dengan mendorong terwujudnya KLA. KLA ini diharapkan dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan (SDG’s) dan Indonesia Layak Anak di pada 2030 mendatang.

“Melalui rangkaian kegiatan APACT 12th ini, mari kita saling bertukar pikiran, ide, pengalaman, dan bersatu dalam merumuskan strategi pengendalian tembakau untuk memastikan negara di Asia-Pasifik mampu mencetak generasi sehat di masa depan dengan produktivitas optimal, guna mencapai SDG’s. Masa depan dunia berada di tangan anak-anak kita saat ini. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara. Melindungi anak dari rokok merupakan salah satu upaya mewujudkannya,” pungkasnya.

Di tempat terpisah, Lenny N. Rosalin Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, menekankan bahwa kunci keberhasilan KLA terletak pada koordinasi yang kuat antar kementerian atau lembaga dan pemda, serta didukung oleh masyarakat, media dan dunia usaha.

UU Nomor 35 Tahun 2014 menyebutkan bahwa KLA menjadi kewajiban dan tanggungjawab daerah. Sejak beberapa tahun terakhir, KLA telah diperkuat hingga tingkat kecamatan dan desa atau kelurahan. (ang/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs