Jika Kota Surabaya dibagi menjadi lima zona, maka Surabaya barat menjadi zona yang masih bergeliat hingga saat ini. Konon, kawasan Surabaya barat sudah menjadi primadona sejak tiga dekade silam.
Putu Rudy Satiawan Pakar Tata Ruang dan Lingkungan Hidup dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengatakan, perkembangan Surabaya yang diproyeksikan menjadi salah satu kota dunia, memang semakin masif, makin padat, dan hampir tidak ada ruang tersisa untuk perkembangan kota.
Akan tetapi, ia menjelaskan bahwa perkembangan sebuah kota tidak harus memanfaatkan lahan yang belum terbangun atau lahan kosong. Melainkan bisa mengkonversi lahan yang bisa dimanfaatkan dari berbagai macam fungsi.
Inilah yang terjadi di wilayah barat Kota Surabaya pada tiga dekade silam. Menurut Rudy, sapaan akrabnya, Surabaya barat sudah menjadi primadona baru sejak 1992. Saat para pengembang mengonversi ruang terbuka yang relatif luas disulap menjadi kota baru yang perkembangannya makin masif hingga kini.
Rudy menjelaskan, wilayah Barat memang paling mungkin dikembangkan saat ini. Sebab, secara alamiah Rudy menyebut ada “kendala” dalam pengembangan Kota Surabaya.
Kawasan utara Kota Pahlawan tidak mungkin dikembangkan karena berbatasan dengan Selat Madura. Selain itu, Surabaya utara dikenal sebagai kawasan heritage dan sudah padat. Perkembangan ke timur juga dibatasi oleh kawasan konservasi dan pesisir.
Wilayah selatan disebut masih mungkin untuk dikembangkan. Namun, ia melihat ada potensi untuk konurbasi sepanjang Surabaya hingga area Sidoarjo, bahkan hingga Malang.
“Yang paling memungkinkan sebenarnya perkembangan ke arah barat. Apalagi Karena Pemkab Gresik seakan menoleransi perkembangan di wilayah timur sisi selatannya untuk menerima perkembangan dari wilayah barat Surabaya,” jelasnya.
Menurut Rudy, kawasan timur sisi selatan Gresik tersebut seharusnya menjadi daerah pertanian. Namun ada toleransi dari Pemkab Gresik untuk menerima limpahan dari Surabaya, sehingga itu menjadi daerah perkotaan baru di kawasan perbatasan antara Surabaya dengan Gresik.
Berdasarkan master plan Surabaya 2000 yang dibuat Pemkot Surabaya pada 1978, kawasan barat dan timur Surabaya sebenarnya difungsikan sebagai kawasan konservasi. Namun pada awal tahun 1990, banyak yang melihat fungsi ekologi di kawasan barat Surabaya sangat minim. Bahkan seperti tidak terurus.
“Maka pada tahun 1992 ada sembilan pengembang yang mengajukan proposal ke Pak Wali Kota saat itu, yakni Pak Poernomo Kasidi, untuk mengembangkan Surabaya barat,” cerita Rudy.
“Sehingga bukan menjadi daerah yang, maaf, seperti kawasan jin buang anak, tapi jadi daerah yang tertata dan terbangun tanpa mengurangi nilai ekologinya. Inilah awal dari pengembangan Surabaya barat,” imbuhnya.
Pada saat itu para pakar tata kota dari ITS Surabaya juga dilibatkan oleh Wali Kota untuk ikut mengkaji soal format pengembangan di barat Surabaya. Berdasarkan kajian itu, persentase daerah terbangun 40 persen dan green open space 60 persen.
Secara tata ruang, menurut Rudy, tidak bisa dipisahkan anggapan bahwa Surabaya barat itu adalah sembilan pengembang itu. Ia juga menyebut wilayah Surabaya barat di luar yang dikembangkan sembilan pengembang, ini juga harus masuk dalam cakupan persentase sesuai kajian pada 1992 silam.
“Faktanya, pengembangan kawasan yang 50 persen itu memicu kawasan-kawasan di sekitarnya untuk turut berkembang. Yang dulunya kampung asli, mengalami pemadatan, sehingga menjadi lebih padat dan dikonversi menjadi daerah pemukiman kelas menengah. Ini yang tidak bisa dihindari,” jabarnya.
Seiring dengan perkembangan waktu, Rudy menyebut bahwa proporsi pengembangan di Surabaya barat sudah lebih dari 50 persen, sisanya baru green open space. Hal ini juga tak lepas dari pengembang-pengembang baru di luar sembilan pengembang awal.
“Katakanlah sembilan pengembang itu menguasai sembilan area. Tapi kondisi yang ada sekarang kan bisa saja sembilan pengembang itu menjual lahannya ke pengembang lain. Itu fenomena pertama,” katanya.
“Fenomena kedua, ada pengembang baru yang masuk di sekitar area sembilan pengembang itu yang tertarik karena dulunya daerah konservasi tapi bisa dikonversi menjadi daerah perkotaan. Inilah yang waktu itu tidak masuk dalam kesepakatan 40 persen terbangun dan 60 persen green open space,” jelas Rudy.
Kepada para pengembang di kawasan barat Surabaya, Rudy menyarankan mereka untuk mendorong wilayah tersebut sebagai kawasan mandiri.
“Orientasinya harus diubah. Mereka mengembangkan kawasan-kawasan Transport on Demand (ToD). Tempat-tempat yang dekat dengan transportasi massal. Dengan begitu mereka mendorong penghuni di sana agar lebih suka menggunakan angkutan publik yang bersifat massal,” harapnya. (saf/iss)