Prof. Tjandra Yoga Aditama Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, menekankan pentingnya tindakan nyata dalam pengendalian penyakit hepatitis melalui implementasi Undang-Undang Kesehatan terbaru.
“Tentu perlu disegerakan aturan yang lebih rinci untuk pelaksanaan dalam peraturan pemerintah yang akan disusun untuk mengimplementasikan UU Kesehatan di lapangan,” kata Tjandra Yoga Aditama saat dikonfirmasi terkait Hari Hepatitis Sedunia 2023 di Jakarta, Jumat (28/7/2023).
Melansir Antara, salah satu aspek penting yang memerlukan campur tangan pemerintah melalui Undang-Undang Kesehatan adalah terkait pengobatan pasien Hepatitis C menggunakan Direct-acting antiviral (DAA).
Pengobatan DAA yang dimulai sejak 2017 masih dihadapkan pada tantangan, karena ketersediaan obat yang belum sepenuhnya terjamin di Indonesia.
Menurut Tjandra, untuk mencegah penularan virus dari ibu yang mengidap HBsAg (+) ke bayi, langkah-langkah pencegahan yang telah disiapkan meliputi pemberian Hepatitis B Immune Globulin (HBlg), vaksinasi Hepatitis B pada 1 hingga 3 tahap. Dan mulai tahun 2023, pengobatan pencegahan dengan menggunakan obat Tenofovir.
Tjandra yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu mengemukakan pemerintah perlu meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hepatitis.
Selain itu, akses terhadap pelayanan kesehatan komprehensif mulai dari pencegahan, skrining, testing, pengobatan, dan pemantauan pengobatan juga masih perlu ditingkatkan.
“Saat ini perlu disediakan porsi yang cukup dalam transformasi kesehatan untuk pengendalian hepatitis,” ujarnya.
Tjandra menjelaskan, hepatitis disebabkan oleh virus dan dapat dibedakan menjadi Hepatitis A yang menular melalui makanan atau minuman terkontaminasi dan biasanya bersifat ringan.
Hepatitis B dan C menular melalui darah, cairan tubuh atau seks tanpa pengaman dan dapat menyebabkan penyakit hati kronik. Vaksinasi tersedia untuk mencegah hepatitis A dan B.
Kemudian beban Hepatitis B di Indonesia hingga 2013 dilaporkan berkisar 7,1 persen atau setara 18 juta orang penderita. Hepatitis C sebesar 1 persen atau setara 2,5 juta orang penderita.
“Sirosis hepatitis setidaknya sebesar 175.211 kasus yang berhubungan dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2022,” ucapnya.
Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit dan mantan Kabalitbangkes Kemenkes RI itu melaporkan kasus Hepatitis B yang sudah diobati pada 2019–2021 mencapai 81.299 pasien.
Cakupan hepatitis B pada kelompok ibu hamil di tahun 2022 mencapai 3.254.139 pasien.
“Cakupan Hepatitis C dari 2017 hingga Juni 2023, telah dilakukan 858.465 tes anti-HCV dimana ditemukan 35.286 anti-HCV positif, 11.553 viral load terdeteksi dan 9.527 yang diobati,”. tuturnya. (ant/dvn/ham)