Jumat, 22 November 2024

Korban Lumpur Lapindo Minta Pemerintah Mengganti Rugi Tanahnya Sesuai Putusan MA

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Korban Lumpur Lapindo yang menuntut pemerintah membayar ganti rugi tanah mereka di Balai Wartawan Sidoarjo, Senin (17/9/2018). Foto: Istimewa

Lima warga Besuki, Sidoarjo, pemilik bidang tanah terdampak Lumpur Lapindo Sidoarjo meminta pemerintah membayar ganti rugi tanahnya sesuai keputusan Mahkamah Agung (MA).

Toyib Bahri, Abdurrosim, Mutmainah, dan dua keturunan korban lainnya: Wahib (Maruwah), M. Ekdar (Musriah), mengeluhkan masalah yang mereka hadapi sejak 10 tahun silam di Balai Wartawan Sidoarjo, Senin (17/9/2018).

Sampai sekarang mereka tidak mendapat ganti rugi tanah yang diminta pemerintah menjadi kolam penampungan lumpur 2008 silam berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 14/2007 jo. Nomor 48/2008.

Pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS), yang sudah dibubarkan, bermaksud membayar tanah itu dengan harga tanah berstatus tanah sawah. Korban tidak mau.

Thoyib Bahri Koordinator kelompok korban Lumpur Lapindo ini mengklaim, Pengadilan Negeri Sidoarjo sudah pernah mengeluarkan putusan bahwa tanah mereka berstatus tanah darat.

“Tapi kami tetap tidak dibayar. Alasannya tidak ada perintah bayar dalam keputusan di Sidoarjo. Dan keputusan itu disebut sepihak, tidak berhadapan. Kami diminta melakukan gugatan,” ujarnya.

Lima pemilik tanah ini pun mengajukan gugatan ganti rugi tanah terhadap tiga tergugat di lingkungan pemerintah pusat ke Pengadilan Jakarta Pusat pada 2012 silam.

Pihak tergugat pertama dalam gugatan yang mereka ajukan adalah Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden saat itu, tergugat kedua adalah Menteri Pekerjaan Umum, dan pihak tergugat ketiga adalah BPLS.

“Di sidang, Presiden mendatangkan 25 pengacara, Menteri PUPR datangkan 10 pengacara, belum BPLS. Kami dikepung pengacara. Tapi alhamdulillah keputusan PN Jakpus memenangkan kami, tanah kami ditetapkan tanah darat,” katanya.

Dari keputusan itu, pihak tergugat tetap tidak melakukan pembayaran kepada mereka. Para tergugat melakukan banding pada 2013 silam, yang mana banding itu akhirnya mereka menangkan.

Thoyib dan kawan-kawannya mengajukan kasasi ke MA setahun kemudian. Tahun 2015, Mahkamah Agung memenangkan lima warga Besuki ini melalui keputusan 3163K/tdp/2014 tertanggal 18 Juni 2015.

“Tapi, sudah ada putusan itu pun, sampai sekarang kami tidak dibayar. Padahal di putusan kasasi MA itu sudah ada perintah segera dibayar. Ada nominalnya dan ada perintah bayarnya,” ujarnya.

Sudah 10 tahun mereka berjuang atas ganti rugi tanah mereka. Kementerian PUPR sempat menyatakan secara lisan, pemerintah akan membayar mereka dalam kesempatan aksi unjuk rasa di Jakarta.

“Alasannya karena ini uang negara jadi harus dengan unsur kehati-hatian. Sekarang pemerintah menyerahkan ke Kejaksaan Agung. Kami malah kesulitan. Makanya kami bersurat ke Presiden, ke Ombudsman, Komnas HAM, Menteri PU, dan Wantimpres,” katanya.

Dari sekian pihak yang mereka surati, hanya Ombudsman yang belakangan ini merespons. Ombudsman menyatakan, dalam waktu dekat akan berkunjung ke Sidoarjo untuk melakukan peninjauan.

Sesuai nominal yang ditulis di dalam keputusan MA 2015 silam, kata Thoyib, pemerintah seharusnya membayar ganti rugi sejumlah Rp17,1 miliar untuk kelima warga terdampak lumpur.

Uang ganti rugi itu untuk mengganti tanah masing-masing. Tanah Maruwah seluas 1.230 meter persegi, Musriah seluas 1.555 meter persegi, Mutmainah seluas 8.100 meter persegi, Abdurrosid seluas 4.100 meter persegi, dan Thoyib Bahri seluas 1.921 meter persegi.

“Ini berlarut-larut sampai sekarang karena dulu ada oknum BPLS yang bertugas memverifikasi minta fee 30 persen. Tapi kami tidak memberi. Juga dari pihak kelurahan Besuki waktu itu. Mereka meminta fee itu atau tidak dikeluarkan ganti ruginya,” kata Thoyib.(den/iss/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs