Fasilitas dan kualitas sekolah menjadi pertimbangan utama masyarakat dalam memilih sekolah untuk anak. Aspek itu melebihi dua opsi lainnya, yakni biaya dan jarak.
Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) memang sudah berakhir. Akan tetapi, masih ada sekolah yang bahkan mendapatkan satu murid baru di PPDB tahun ini. Fenomena itu terjadi di SMP Tenggilis Jaya, Surabaya.
Lantas, apa menjadi faktor utama yang dipertimbangkan masyarakat dalam memilih sekolah untuk anak atau sanaknya?
Dalam diskusi yang diperdengarkan di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (20/7/2023), publik menyebut faktor fasilitas dan kualitas menjadi penentu dalam memilih sekolah.
Berdasarkan data dari gatekeeper Suara Surabaya, Sebanyak 58 persen (43 voters) menyebut fasilitas dan kualitas sebagai aspek utama. Disusul biaya sebanyak 30 persen (22 voters) dan jarak sebanyak 12 persen (9 voters).
Data dari polling di Instagram pun menunjukkan hasil serupa. Sebanyak 60 persen (234 voters) menyebut fasilitas dan kualitas sekolah sebagai aspek utama. Di susul dua aspek lainnya, yakni biaya sebanyak 24 peren (94 voters) dan jarak sebanyak 16 persen (63 voters).
Terkait hasil polling tersebut, Isa Ansori pemerhati pendidikan dan perlindungan anak di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim mengatakan, setiap orang tua pasti punya alasan atau pertimbangan dalam memilih sekolah terbaik untuk anaknya.
Ada banyak variabel dalam pemilihan ini. Seperti kualitas dan fasilitas sekolah, jarak sekolah dengan rumah, serta biaya. Hanya saja, variabel itu sering kali dibatasi oleh variabel lain yang dicanangkan Dinas Pendidikan.
“Misalnya soal jarak dan kualitas, sayangnya sistem PPDB tidak memungkinkan hal itu. Ada sekolah bagus, tapi jarak dari rumah jauh. Sehingga kuotanya habis karena ada aturan zonasi,” kata Ketua Bidang Divisi Data dan Informasi Serta Litbang LPA Jatim itu.
Zonasi selalu menjadi tajuk utama di PPDB pada beberapa tahun terakhir. Misalnya di Surabaya, jumlah siswa yang pendaftar lebih dari 38 ribu. Namun kuota untuk sekolah negeri cuma 14 ribu.
Selain itu, sebaran sekolah di Surabaya juga tidak merata. Sehingga praktik di lapangan menunjukkan ada sejumlah ketidaktepatan dalam sistem zonasi.
“Misalnya di Kecamatan Genteng, ada enam sekolah negeri yang menurut banyak orang adalah sekolah favorit. Artinya, hanya masyarakat di Kecamatan Genteng yang termanjakan oleh sekolah yang disebut berkualitas itu. Sedangkan yang di luar Genteng tidak bisa ke sana,” jabarnya.
Menurut Isa, ada yang kurang tepat dalam penerapan sistem zonasi ini. Jika mengacu Undang Undang (UU) Tata Ruang, yang dimaksud dengan zonasi adalah semua wilayah di zona tersebut harus diberlakukan sama.
“Namun di pendidikan tidak demikian. Yang diukur adalah jarak. Alhasil mereka yang berada di ring dua dan ring tiga, pasti kehabisan kelas. Sebab mereka karena kalah oleh ring satu,” urai Isa.
Supaya sebaran merata dan fenomena sekolah yang hanya mendapat satu murid di PPDB tidak terulang, Isa mendorong pemerintah untuk melakukan redefinisi ulang tentang zonasi, menyamakan kualitas sekolah negeri dan swasta, serta menghapus dikotomi sekolah favorit dan tidak.
“Meski dinas pendidikan membuat upaya supaya sekolah-sekolah itu sama, tapi secara implementasi terbentuk kluster. Kluster ini yang saya sebut kejahatan dalam pendidikan. Kluster bawah akan melestarikan kemiskinan. Sebab mereka akan bertemu dan kenal sesama kluster bawah. Sementara kluster atas akan bertemu sesama kelompok atas. Nah, tugas pemerintah hadir untuk memotong mata rantai itu,” terang Isa. (saf/bil/faz)