Fahri Hamzah Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia meminta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengundang partai politik (parpol) untuk menyampaikan proposal mengenai pandangannya tentang masa depan umat manusia dan agama.
Hal ini penting untuk menjawab problem-problem bangsa saat ini di tengah tren penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang kian marak di Indonesia.
“Fisiknya, manusia itu sudah dicoba diganti dengan robot. Sekarang ini, pikiran manusia atau akal manusia, coba diganti artificial intelligence. Lalu, Bagaimana nasib the next generation, manusia yang akan datang,” kata Fahri dalam diskusi daring bertajuk ‘Artificial Intelligence: Ancaman atau Peluang?, Rabu (12/7/2023) sore.
Fahri menilai AI bisa menjadi pintu bagi kelahiran agama baru yang akan membuat kitab sucinya sendiri.
“Saya kira percakapan soal AI ini juga harus menjadi perhatian para agamawan. Makin lama makin mengkhawatirkan, karena dia semakin mirip manusia. Dalam perspektif agama ini seperti Tuhan menciptakan manusia,” katanya.
Kehadiran AI ini, kata Fahri, seperti mengingatkan memori dialog penciptaan manusia yang dikhawatirkan malaikat kepada Tuhan, bahwa manusia akan membuat kerusakan di bumi. Tetapi, kemudian Tuhan menjawab lebih mengetahui mengenai misteri ini.
Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini menegaskan, bahwa kehadiran AI kelihatannya semakin mempermudah pekerjaan manusia dalam segala hal. Namun sebaliknya, justru ada disrupsi teknologi dan bahaya besar yang akan mengancam umat manusia.
“Kalau berkenan BRIN bisa mengundang kita untuk menyampaikan pandangan masa depan umat manusia atau masa depan agama. Partai Gelora akan memaparkan proposal komprehensif untuk menjawab problem-problem ini,” jelasnya.
Menurut Fahri, kehadiran parpol di BRIN untuk menyampaikan pandangannya tentang masa depan dapat menjawab mengenai kegamangan dan kegelisahan secara umum tentang masa depan kita dan umat manusia.
“Dan di kita ini, kita punya kontra naratif yang sangat banyak. Kita ini masih mengadu domba antara agama dan sains. Kita masih bertengkar antara budaya dengan pengetahuan, akibatnya antara peneliti dan politisi tidak mantap dalam meletakkan pilar-pilar inti peradaban,” terangnya.
Karena itu, hal-hal seperti ini harus diselesaikan, apakah sains dibawa komando negara atau tidak. Sehingga para peneliti atau akademisi yang memiliki riset tidak terus di belakang layar, harus ada keberanian untuk tampil ke depan.
“Sekarang kita tidak punya mekanisme untuk mengintervensi public education yang baik. Dan saya kira ini PR temen-temen BRIN. Lembaga pendidikan dan universitas harus memfasilitasi percakapan mengenai AI ini,” kata dia.
Dengan memahami kemajuan teknologi terbaru ini, lanjut Fahri, menjadi kesempatan Indonesia untuk mendaur ulang literasi bangsa kita, sehingga memiliki kesadaran sainstifik.
Fahri menegaskan, hilangnya pekerjaan-pekerjaan rutin manusia yang akan digantikan robot dan jiwanya diganti AI pada masa akan datang harus segera diantisipasi negara.
“Negara harus lebih cepat punya antisipasi terhadap perkembangan seperti ini. Bangsa Indonesia tidak boleh terus-menerus menjadi konsumen bagi perkembangan seperti ini,” ujarnya.
Perkembangan ini, lanjutnya, juga harus menjadi percakapan serius antara pejabat dan politisi agar masyarakat tidak cemas, serta menjadikanya sebagai peluang untuk memperbaiki masa depan kita.
“Artificial intelligence yang dibuat manusia harus menjadi peluang kita untuk memperbaiki masa depan kita. Harusnya digunakan untuk merevisi begitu banyak kerusakan yang dibuat oleh manusia, bukan untuk menambah kerusakan baru di masa yang akan datang,” pungkasnya.(faz/rst)