Jumat, 22 November 2024

Sosiolog Unesa: Jangan Ada Pemaksaan Pilihan Politik dalam Keluarga

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi Pemilu. Foto: grafis suarasurabaya.net

Pada tahun 2019 lalu, sempat terungkap adanya tingkat perceraian akibat persoalan politik. Dalam kajian BBC News Indonesia berdasarkan data Badan Peradilan Agama, pada 2009 tingkat perceraian mencapai 402 kasus.

Kemudian tahun 2010 berkurang jadi 334 kasus, 2011 meningkat 650 kasus, dan puncaknya tahun 2015 atau setahun setelah Pemilu 2014 angkanya menyentuh 21.193 kasus.

Menanggapi fenomena itu, Dr. Agus Machfud Fauzi Sosiolog Politik Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengatakan, keretakan rumah tangga atau keluarga akibat persoalan politik menunjukkan proses politik yang ada sudah mulai mengganggu kebebasan memilih.

Menurutnya, hak atau kebebasan dalam menentukan pilihan politik seharusnya tidak boleh diintimidasi atau dipaksakan, baik terhadap istri, terlebih kepada anak.

“Tapi, pada titik-titik tertentu fenomena itu muncul karena pada proses pemilu lampau, kebebasan berekspresi untuk memilih calon, sedikit banyak dibawa masuk ke ranah politik dan keluarga. Siapa pun, bahkan orang tua harusnya tidak boleh mematahkan (pilihan anggota keluarganya), hanya memberikan informasi dan sosialisasi saja, karena itu wajib. Tapi, pilihan kembali ke hak masing-masing,” jelasnya dalam program Wawasan Suara Surabaya, Kamis (15/6/2023).

Pakar Sosiologi Politik Unesa itu menegaskan, memilih adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dipaksakan, sekali pun di dalam lingkup keluarga.

Dia menjabarkan, sejauh ini ada tiga bentuk pemahaman keluarga soal pilihan politik. Pertama, bersifat harmonis di mana anak/istri mengikuti apa kata kepala keluarga/orang tua.

Kedua, bersifat liberalis, di mana anak mulai beda pandangan soal politik dengan orang tua karena pengaruh lingkungan. Terakhir, keluarga yang acuh tak acuh kepada politik.

“Tiga tipe model keluarga itu terjadi, tergantung orang tua memposisikan diri. Ketika anak baru jadi pemilih pemula dan mencari referensi pilihan politik kepada orang tua, dan diberi penjelasan detail sosok tertentu, secara tidak langsung itu memerintahkan langsung pada anak soal pilihan orang tua,” bebernya.

Sekadar diketahui, pemaksaan kehendak politik tertentu kepada anak bisa dijerat pidana dua tahun penjara, sebagaimana diatur dalam Pasal 531 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Menurut Agus, regulasi itu sudah benar. Tapi, sulit untuk dipraktikkan karena sifat orang tua yang lebih dominan dalam keluarga, memungkinkan hanya 1000:1 anak berani melaporkan pemaksaan orang tua.

“UU tadi harusnya dipahami orang tua, agar tidak menjadi problem dalam diri kita menghadapi pemilu. Orang tua juga perlu menyadari anak-anaknya mempunyai pilihan. Tapi, kalau belum punya pengetahuan lebih baik kita menginformasikan agar pilihan berbeda tidak sampai mengadu domba dan menghadirkan konflik yang negatif,” ungkapnya.

Untuk itu, dia menuturkan kesadaran hak politik keluarga sangat penting agar diketahui bersama. Apalagi dalam sebuah demokrasi, semua yang memiliki syarat dipastikan bebas menentukan pilihan.

“Kita perlu mempelajari tradisi bahwa orang tua harus jadi panutan. Sehinggaz (nantinya) misalkan anak telah menjadi dewasa dan mempunyai hak sendiri untuk memilih, maka (saran pilihan) dari orang tua sifatnya hanya jadi opsi,” pungkasnya. (bil/rid)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs