Serapan Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Jawa Timur (Jatim) sempat kalah cepat dengan negara lain akibat proses pengurusan identitas (Id) calon PMI yang tidak seragam.
Hal itu terjadi dalam beberapa waktu lalu, ketika perusahaan Korea Selatan membutuhkan 900 welder (juru las) dari Jatim.
Namun hanya 400 PMI Jatim yang bisa terbang ke Korea. Sedangkan sisanya terkendala syarat administrasi Id Calon PMI (CPMI) yang diverifikasi lewat Disnaker kabupaten/kota.
Proses pengurusan Id CPMI itulah yang menjadi kendala dalam keberangkatan. Sebab setiap kota/kabupaten punya aturan sendiri dalam memverifikasi. Belum ada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang seragam dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI.
Karena kendala itulah akhirnya serapan PMI Jatim disalip oleh India yang mampu memenuhi kuota tersebut. Menurut Purwanti Utami Kabid Penempatan & Perluasan Kesempatan Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jatim, perlu ada SOP yang seragam supaya serapan tenaga kerja antar negara bisa maksimal.
“Aturan tentang PMI sebetulnya top-down, jadi kota/kabupaten. Kalau kami provinsi untuk memberlakukan (SOP) di kota/kabupaten, tidak ada dasarnya. Saya rencana minggu depan akan ke pusat untuk nge-push pembuatan SOP itu,” kata Ami sapaan akrabnya saat ditemui Kamis (8/6/2023).
Proses pembuatan Id CPMI yang bisa berlangsung hingga berminggu-minggu. Kendala lain yang dihadapi PMI adalah lulus uji kompetensi di Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang membutuhkan waktu paling singkat satu bulan.
“Walaupun dia bekerja penata laksana rumah tangga (pekerja domestik), harus lulus uji kompetensi. Ini memperlama waktu untuk mereka berangkat. Sementara user di luar negeri yang tidak mau menunggu, cari user lain. Peluang ini banyak yang hilang,” tutur Ami.
Padahal kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dengan negara lain itu sebanding. Yang didasarkan uji kompetensi menerapkan standar yang sama dengan negara tujuan.
Tak berhenti pada tahapan mengurus Id CPMI dan sertifikasi uji kompetensi saja, para CPMI juga wajib melalui masa orientasi pra pemberangkatan (OPP), yang merupakan tahap akhir.
“Itu pun mengantre. Karena sistemnya masih konvensional. Jadi peserta satu kelas 50 orang. Terus dapat pembekalan dan lain-lain. Itu tergantung kekuatan anggaran dari BP2MI. Itu juga menjadi kendala yang memang harus diterobos,” jelasnya.
Di lain sisi, Ami juga berupaya membuat terobosan OPP dalam bentuk digital yang bisa diakses lewat di digiomandira.com oleh CPMI, agar memangkas waktu orientasi. “Tapi itu masih menunggu legalitas dari BP2MI agar bisa digunakan,” pungkasnya. (wld/saf/ipg)