Sabtu, 23 November 2024

PKB Menyayangkan Penghapusan Minimal Mandatory Spending dalam RUU Omnibus Law Kesehatan

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Nihayatul Wafiroh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB, memberikan keterangan terkait mandatory spending dalam RUU Kesehatan, Kamis (8/6/2023), di Ruang Fraksi PKB, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Foto: istimewa

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyayangkan penghapusan pengeluaran wajib (mandatory spending) APBN minimal 5 persen dalam Rancangan Undang-undang Kesehatan yang dibahas dengan metode Omnibus Law.

Nihayatul Wafiroh Ketua DPP PKB bidang Kesehatan, Perlindungan Anak, dan Difabel PKB menyatakan sudah berjuang maksimal. Tapi, Fraksi PKB kalah suara dalam voting Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan.

“Kami meminta maaf kepada Rakyat Indonesia. Kami sudah berjuang maksimal supaya pasal mandatory spending minimal 5 persen APBN untuk layanan kesehatan masuk dalam batang tubuh RUU Kesehatan. Namun, ternyata kami kalah suara saat voting dalam Panja RUU Kesehatan,” ujarnya di Ruang Fraksi PKB, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/6/2023).

Menurut Nihayatul, penetapan mandotory spending untuk layanan kesehatan memicu perdebatan alot dalam Panja RUU Kesehatan. Selama dua hari terakhir, Anggota Panja RUU Kesehatan mendiskusikan perlu tidaknya mandatory spending dalam batang tubuh RUU Kesehatan atau mengikuti usulan pemerintah supaya alokasi anggaran layanan kesehatan bersifat elastis sesuai kebutuhan di lapangan.

“Perdebatan itu diakhiri dengan voting di mana usulan pemerintah lebih diterima oleh mayoritas Anggota Panja RUU Kesehatan,” katanya.

PKB, lanjut Nihayatul sangat menyayangkan fakta politik itu. Dia bilang dari awal partainya menegaskan anggaran layanan kesehatan harus dikategorikan sebagai mandatory spending dan disebutkan secara jelas dalam batang tubuh UU Kesehatan.

“Bahkan, PKB mematok supaya mandatory spending minimal 5 persen dari APBN dan disebutkan dalam batang tubuh UU kesehatan, tidak sekadar dalam penjelasan UU,” tegasnya.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI itu menambahkan, anggaran layanan kesehatan harusnya dikategorikan sebagai anggaran wajib dalam APBN.

Mandatory spending sebanyak itu diperlukan untuk memastikan kualitas layanan kesehatan baik dalam bentuk program, mau pun perbaikan sarana prasana kesehatan.

“Berdasarkan pengalaman waktu menangani pandemi Covid-19, kelihatan rapuhnya sistem layanan kesehatan di Indonesia. Ada banyak sekali lubangnya mulai keterbatasan sarana prasarana, keterbatasan obat-obatan, hingga keterbatasan sumber daya manusia. Jika tidak ada mandatory spending, Indonesia akan semakin ketinggalan dalam upaya meningkatkan kualitas kesehatan,” pungkasnya.(rid/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs