Jumat, 22 November 2024

Tiap Tahun Dua Juta Lebih Orang Indonesia Kena Stroke, Perhatikan Ciri-Ciri Ini untuk Deteksi Dini

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Dari kiri ke kanan, Dokter Farhad Balafif, Dokter Agus Chairul Anab, dan Dokter Nur Setiawan Suroto. Ketiganya spesialis bedah saraf, Sabtu (27/5/2023). Foto: Meilita suarasurabaya.net

Dokter Nur Setiawan Suroto spesialis bedah saraf menyebut, setiap tahun ada 2,91 juta penduduk Indonesia yang mengalami stroke. Jumlah ini diprediksi terus bertambah. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mengetahui cara untuk mendeteksi dini stroke melalui metode FAST.

Face, mukanya simetris, berubah atau tidak. Kalau perot, satu sisi misalnya, ya curiga stroke,” kata dokter Iwan sapaan akrabnya, Sabtu (27/5/2023).

Selain wajah yang tiba-tiba berubah tidak normal, tidak simetris, ciri lainnya yaitu nampak pada lengan.

Arm, lengan. Jadi lumpuh separuh istilahnya. Tangannya melemah,” imbuhnya.

Dari gaya bicara, vokal penderita stroke akan berubah menjadi tidak jelas.

Speech. Bicaranya tiba-tiba pelat, itu mungkin gejala awal,” terangnya.

Terakhir, jika semua gejala atau ciri di atas sudah muncul, maka waktunya penderita stroke dibawa ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.

Time. Segera ke rumah sakit,” tegasnya.

Dari banyaknya kasus yang ditanganinya, Iwan menyebut rata-rata penderita stroke menyerang usia lanjut. Tapi, perubahan gaya hidup, tidak menutup kemungkinan akan menyasar usia muda.

“Kebiasaan makanan. Suka makan terlalu asin, minum kopi. Kurang istirahat, kadang-kadang hidup di kota terutama kan begadang. Apalagi olahraga juga gak pernah,” terangnya lagi.

Berkaca dari tingginya kasus stroke dan terus meningkat tiap tahun, Iwan menyebut dokter terutama di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) harus mampu menangani pasien dengan baik dan cepat.

“Pemerintah menjadikan fokus perhatian pelayanan. Karena di Indonesia masih banyak. Artinya stroke di IGD itu perlu ditangani baik dan cepat. Maka bisa menyelamatkan sel saraf yang masih berfungsi. Tapi kenyataannya, seringkali pasien-pasien ketika datang di IGD tidak menjadi prioritas. Artinya kalau sudah lemah separuh obatnya biasa,” jelasnya.

Sementara hasil evaluasi Perhimpulan Spesialis Bedah Saraf Indonesia (PERSPEBSI), belum ada pelatihan bagi dokter mengenai penanganan pertama sejumlah penyakit gawat darurat saraf atau neuroemergency yang berisiko tinggi kematian.

Dokter Joni Wahyuhadi Ketua Umum PERSPEBSI menginisiasi pelatihan Prinary Neuroemergency and Neurosurgical Life Support (PNNLS) yang melibatkan lima spesialis sekaligus. Mulai bedah saraf, saraf, radiologi, anestesi, dan neurologi anak.

“Jadi selama ini proses pelatihan itu sudah ada standar, tapi kita ingin menyempurnakan standar itu lebih tepat dengan multidisiplin. Kita berupaya membuat standarisasi pelatihan, kalau tata pelaksanaan masing-masing penyakit sudah ada. Tapi, standarisasi training agar sampao ke dokter umum, agar punya kapasitas penanganan, itu yang belum ada. Di mana standar ini kita gak bisa sendirian,” jelas dokter Agus Chairul Anab, Ketua PNNLS.

Dengan standarisasi pelatihan berbagai dokter spesialis, penanganan pasien di IGD bisa mengurangi angka kegagalan dan kecacatan.

“Pasien datang itu emergency gak ketahuan ini apa. Tiba-tiba gak sadar. Bisa stroke, bisa trauma, bisa epilepsi, dan sebagainya. Di sini, kita coba berpikir global. Apapun penyebabnya, dia datang ke emergency dalam keadaan problem diotak dan tulang belakang. Kami, dari bedah saraf menginisiasi tapi tidak bisa sendiri. Harus multidisiplin kita gandeng yang subnya brain atau neuro dan spinal. Harapannya dengan project ini akan mengurangi angka kegagalan dan kecacatan,” tambah Dokter Farhad Balafif spesialis bedah saraf. (lta/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs