Yoan Nursari Simanjuntak Dekan Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) menyarankan perjanjian sewa menyewa properti sebaiknya dibuat dalam bentuk tertulis sehingga hak dan kewajiban masing-masing pihak bisa terakomodir dengan jelas.
“Kalau ada perjanjian tertulis, akan mengikat karena ada dokumen hitam di atas putih. Kalau tidak ada dokumennya, hanya lisan, tidak ada ikatan jelas antara penyewa dan pemberi sewa,” ujarnya dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Selasa (23/5/2023).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat membuat perjanjian tertulis yaitu pencatatan yang jelas mengenai hak dan kewajiban pemilik dan penyewa.
Pertama, identitas para pihak juga harus jelas, bisa dibuktikan dengan fotokopi KTP atau Kartu Keluarga. Kalau penyewa kabur mudah-mudahan dengan dokumen yang ditinggalkan bisa dilacak.
Kemudian waktu pembayaran, misalnya diperlukan denda keterlambatan bisa ditambahkan.
Bentuk penyelesaian atau solusi saat terjadi masalah juga perlu disepakati. Misal perihal perawatan bangunan juga bisa dimasukkan dalam perjanjian karena ada penyewa yang bisa merawat, ada yang tidak bisa merawat. Termasuk klausul tentang uang deposit atau jaminan. Jangan sampai saat ditinggal pergi penyewa, bangunan dalam kondisi rusak.
“Pemilik bangunan dan penyewa sama-sama berhak menuangkan kebutuhannya ke dalam perjanjian. Dituangkan saja apa yang jadi kesepakatan untuk mengamankan kedua belah pihak,” kata Yoan.
Apabila di kemudian hari terjadi penyalahgunaan hak dan kewajiban dalam sewa menyewa, maka akan digolongkan sebagai wanprestasi kasus perdata. Bukan pemenjaraan, tapi ganti rugi. Sedangkan tentang penghentian perjanjian, tidak boleh salah satu pihak, harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
“Perjanjian sewa menyewa bisa dibuat di notaris, misalnya jika propertinya bernilai besar. Kalau tidak, dokumen perjanjian yang dibuat dengan membubuhkan materai dan menghadirkan saksi juga sudah cukup kuat,” kata Yoan.(iss/rst)