Sabtu, 23 November 2024

Perludem: Standar Penyampaian Aspirasi Masih Jadi PR Selama 25 Tahun Reformasi

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi menyampaikan pendapat lewat gadget. Foto: Freepik

Heroik M. Pratama Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut pasca 25 tahun reformasi, Indonesia masih punya beberapa catatan, khususnya soal keberanian warga negara mengemukakan pendapat.

Dari beberapa hasil survey, kekhawatiran tersebut muncul akibat banyaknya kontroversi perihal penerapan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau Undang-undang nomor 11 tahun 2008.

Belum lagi keberadaan media sosial yang harusnya jadi ruang aspirasi publik mengemukakan pendapat yang bisa didengar pemerintah, justru seringkali bergesekan dengan penerapan UU ITE.

“Memang peraturan sudah dibuat Menkopolhukam terkait implementasi UU ITE, tapi memang kita saksikan masih ada beberapa organisasi masyarkaat sipil dihadapkan kasus hukum akibat UU ITE itu. Itu mungkin catatan pertama soal hak sipil, bagaimana ruang publik berpartisipasi menyuarakan pendapat,” jelas Heru sapaan akrabnya saat mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (22/5/2023).

Sementara soal anggapan “Kebablasan” kepada semua kritikan keras lewat media sosial pada akhir-akhir ini, kata Heru, dikarenakan nilai ketimuran Indonesia masih sangat kental. Sehingga, dalam penyampaian segala sesuatu harus sesuai norma dan ada tata krama-nya.

Namun, dia menegaskan kalau demokrasi secara universal ditekankan kepada tiga aspek. Yakni, partisipasi, transpransi dan representasi. Artinya dalam ruang-ruang publik seperti media sosial, ketika publik menyampaikan sesuatu harus dikategorikan oleh pemerintah sebagai hal yang harus direspon.

“Memang kalau kita lihat dari haisl studi teman-teman/masyarakat di bidang hukum ada penurunan (kebebasan berpendapat). Meskipun kalau kita lihat ini membatasi teman-teman atau publik menyampaikan aspirasinya. Hari ini kan masyarakat tetap terbuka menyampaikan pendapatnya di media sosial, meski memang harus menjaga tata krama tadi,” bebernya.

Sementara untuk menjaga nilai kebebasan hingga nilai demokrasi, kata Heru, akan sangat tergantung dari bagaimana publik betul-betul memanfaatkan suaranya untuk Pemilu, Pileg hingga Pilkada pada 2024 mendatang.

Selain itu para peserta seperti Parpol yang telah memenuhi syarat, maupun masyarakat sebagai pemilih-nya harus memastikan terdaftar dan terfasilitasi dengan baik.

Apalagi menurut Heru, 60 persen pemilih dalam Pemilu besok didominasi generasi milenial (Gen Y) dan Gen Z, yang perilaku memilihnya selalu mempertimbangkan untung dan rugi.

“Akan menimbang kebutuhan selama lima tahun kedepan kalau memilih partai terntentu itu apa? nah itu aspek yang harus kita syukuri dan jaga betul gitu di 2024. Jangan sampai dijadikan sebatas komoditas politik untuk mendulang suara, dan tentu harus difasilitasi betul,” ungkapnya.

Peneliti Perludem itu juga mengingatkan kalau Pemilu merupakan bagian dari mekanisme reward and punishment. Artinya, para peserta Pemilu sebelumnya yang terpilih selama lima tahun dan menjabat baik eksekutif maupun legislatif, kembali terpilih atau tidaknya tergantung dengan kinerja.

“Sesuai harapan warga negara, maka bisa dipilih kembali di 2024, itu reward dari kita. Tapi kalau ternyata kinerja dan kebijakannya tidak sesuai yang diharapkan, maka ya tidak usah dipilih. Itu mekanisme reward and punishment,” ujarnya.

Terakhir, Heru kembali menjelaskan kalau Pemilu di Indonesia masih paling demokratis dibandingkan negara lain. Dia mencontohkan pada saat hari pencoblosan Pemilu selesai, selalu diikuti dengan penghitungan suara bersama.

“Kita datang ke TPS jam delapan pagi, jam satu waktu pengumpulan suara selesai kita ikut penghitungan suara, nomor dibaca, partai apa dan siapa. Di situ sebetulnya ada ruang deliberatif/ruang partisipasi politik yang dinilai sebagai jantung pemilu kita, yang paling demokratis,” pungkasnya. (bil/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs