Senin, 25 November 2024

Hari Perawat Sedunia, Riska Tetap Pilih Rawat Pasien Covid-19 Meski Punya Asma

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Ilustrasi perawat. Foto: Pixabay

Hari Perawat Sedunia pada Jumat (12/5/2023), jadi pengingat untuk Riska Oktavia, perawat asal Surabaya yang memilih tetap terjun menjadi relawan merawat pasien Covid-19 selama pandemi terjadi di Indonesia.

Riska satu dari sekian banyak perawat yang memutuskan untuk terjun langsung merawat pasien Covid-19 itu, mengaku tidak takut terhadap risiko apa pun. Sekalipun nyawa menjadi taruhannya, ia tetap yakin tanggung jawab profesi di atas segalanya.

Dia menceritakan pertama kali bekerja di klinik. Kemudian saat terjadi pandemi tahun 2020, semua rekannya mendapat panggilan dari berbagai rumah sakit di Surabaya termasuk RS darurat.

“Bagi saya, pengalaman merawat pasien Covid-19 itu berharga pada saat senang atau sedih. Senang rasanya, rekan nakes (tenaga kesehatan) menjaga keamanan, keselamatan, bersama dan masing-masing, baik dokter dan nakes lainnya. Sedi, ketika (melihat) pasien nggak bisa dikunjungi keluarga,” terang perawat muda 25 tahun itu ketika dihubungi suarasurabaya.net, Jumat (12/5/2023).

Dia juga menceritakan kalau keputusan yang diambilnya, harus menentang keluarga dan orang tua. Riska sempat diminta keluarga untuk tidak ikut terjun dan bersentuhan langsung dengan pasien Covid-19.

“Sukarela sih, karena kan saat itu dibutuhkan segera perawat pandemi. Saya ingin terjun langsung karena memang banyak teman saya yang terjun. Gak dibolehin keluarga, tapi bagaimana lagi udah profesinya,” jelas Riska yang sudah menjalani profesi perawat sejak usia 21 tahun itu.

Keluarganya pun beralasan tidak ingin Riska dalam bahaya. Penyakit asma yang dideritanya sejak usia enam tahun, bisa saja tiba-tiba kambuh. Bahkan kemungkinan terburuknya sampai merenggut nyawanya ketika terpapar Covid-19.

“Alasan keluarga nggak ngebolehin, menyangkut nyawa juga, kebetulan saya punya penyakit asma,” imbuhnya.

Dokumentasi Riska perawat Surabaya saat pandemi Covid-19 untuk suarasurabaya.net

Hingga tiba akhirnya, Riska terpapar Covid-19 varian delta dan harus menjalani isolasi mandiri 14 hari saat tengah bekerja dan jauh dari keluarga.

“Keluarga tahu, saya nggak mau pulang meski disuruh pulang. Jadi akhirnya, keluarga bilang kalau itu memang pilihan kamu tidak apa-apa lanjutkan,” jelasnya lagi.

Riska tahu persis, penyakit komorbid asma itu bisa saja memperparah kondisi tubuhnya saat isolasi mandiri. Tapi tak ada satupun yang membuatnya takut, ia percaya takdir hidup dan mati ada di tangan Tuhan.

“Sampai sekarang saya hidup. Saat sakit Covid-19, asma saya juga tidak kambuh, cuma hilang nafsu dan demam. Padahal harusnya ada pengaruhnya. Karena Covid-19 itu menyerang komorbid,” terangnya.

Dia juga tak memungkiri, masa pandemi sekaligus jadi pengalaman paling berat dan trauma baginya. Bukan karena turut terpapar, tapi ia harus kehilangan orang-orang terdekatnya, keluarga dan rekan kerja.

“Pada saat itu 14 hari gak bisa ketemu keluarga, nenek meninggal cuma bukan karena Covid-19 tapi penyakit bawaan. Kemudian tiba-tiba rekan saya yang sedang hamil lalu henti nafas dan meninggal. Sampai sekarang masih trauma, itu pengalaman gak bisa terlupakan,” tuturnya.

Ia bersyukur, Indonesia juga Surabaya kembali pulih, pandemi bahkan segera berakhir dan menjadi endemi. Tapi ia berjanji, tetap menjunjung tinggi tanggung jawab profesi.

“Kalau sekarang dihadapkan dengan situasi sama seperti pandemi lalu, saya tidak akan mengubah keputusan, dan tetap memilih terjun merawat pasien Covid-19,” tegasnya.

Tapi, ia mengajak, momen ini sekaligus mengingatkan bahwa virus Covid-19 benar-benar ada dan bisa datang kapan saja. Usainya pandemi, harapnya, tak menjadikan masyarakat lupa dan mengabaikan kebiasaan penting penggunaan masker.

“Menurut saya makai masker itu hal yang sangat penting, utama sekali. Karena terpapar dari droplet, udara, dan lain-lain,” tandasnya. (lta/bil/faz)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 25 November 2024
33o
Kurs