Jumat, 22 November 2024

Kenalan di Sosmed Berujung Rudapaksa, Psikolog: Waspadai Perangkap Predator Seksual Dunia Maya

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Ilustrasi Pemerkosaan. Foto: suarasurabaya.net

Sepekan terakhir, dua kasus rudapaksa menimpa siswi SMP di bawah umur,  korban mengatakan mengenali pelaku dari sosial media.

Menurut Riza Wahyuni praktisi psikolog klinis dan forensik Surabaya, kejahatan seksual dengan modus serupa bukan ini saja, sebab sejak lima tahun lalu peristiwa yang sama sudah terjadi.

Riza menilai, permasalahan itu bisa terjadi karena generasi Z, yang paling banyak jadi korban, lebih banyak menghabiskan waktu bersosialisasi di dunia maya.

“Yang tidak dipahami, medsos tidak seindah dan seperti kenyataan, mereka tidak memahami cyber crime, ada hacker, dan macam-macam istilah. Di mana, itu sangat tidak dipahami mereka, terutama memiliki masalah di dalam keluarga, komunikasi keluarga tidak begitu baik, komunikasi terbatas, kemudian hubungan dalam orang tua,” kata Riza, Kamis (4/5/2023).

Ditambah, remaja identik dengan masih mencari jati diri dan butuh pengakuan atas keberadaan dirinya.

“Pengakuan itu artinya ketika saya membutuhkan pengakuan maka saya mencari orang yang bisa menerima apa adanya,” terangnya.

Apalagi remaja yang kurang perhatian orang tua, berada di lingkungan keluarga yang kurang harmonis. Celah itu akan dimanfaatkan pelaku predator seksual untuk menarik simpati dan membuat korban masuk dalam perangkapnya.

“Ketika melakukan perkenalan lewat medsos ada yang memberi perhatian, di mana pelaku meyakinkan kepada mangsa yang dia dapat bahwa dia orang baik, orang bertanggungjawab, memiliki perhatian, setiap waktu diperhatikan, sudah makan belum, lagi ngapain, sudah tidur. Tanpa disadari ketika anak-anak sudah terlibat secara emosional, dia akhirnya terjebak,” beber Riza.

Tak butuh waktu lama pendekatan melalui sosial media itu akan disudahi dengan bertemu secara langsung. Pelaku, akan melancarkan aksinya untuk merudapaksa korban.

“Ketika terjebak, mereka secara emosional merasa dekat, sudah terikat seccara emosional, bergantung secara emosional, akhirnya bertemu lewat darat, dia sudah merasa nyaman, akhirnya tidak sadar masuk perangkap pelaku kejahatan predator seksual, itu yang mereka tidak pahami,” tambahnya.

Selain anak dibawah umur, pelaku predator seks itu juga menyasar usia awal dewasa 18-25 tahun.

Riza menyebut, penting sekali remaja memahami batasan yang boleh dan tidak boleh dibagikan di sosial media agar tidak mengundang kehadiran pelaku.

“Rata-rata ketika sudah menikmati kebersamaan cerita di rumah begini, ada masalah keluarga, cerita ibu bapakku sibuk, bapakku orangnya jahat, curhatan-curhatan itu yang digunakan. Itu berisiko. Kemudian ketemu darat dibawa ke suatu tempat dan itu yang terjadi (rudapaksa),” terangnya ulang.

Selain itu, bentuk kejahatan seksual serupa lainnya pelaku minta korban menunjukkan bagian-bagian tubuh yang seharusnya tidak boleh dibagikan.

“Anak video call disuruh menunjukkan alat kelaminnya, payudara, penis, video call disuruh pegang. Parahnya yang saya temukan yang tidak bertatap muka, anak gak tahu laki-laki itu wajahnya seperti apa, tapi mereka percaya bahwa dia orang baik,” imbuh Riza.

Menurutnya peningkatan kesadaran itu harus dilakukan bersama-sama anak dan orang tua dalam keluarga.

“Artinya, ada masalah komunikasi keluarga itu penting. Pola pengetahuan yang sangat sederhana dalam keluarga, keluarga sederhana, pengetahuan terbatas menyebabkan keluarga tidak memahami apa yang terjadi kepada anaknya. Ekonomi juga berpengaruh. Orang tua sekarang lebih percaya pada anaknya dan mengalah, asal anak diam dan manut (patuh). Itu jadi problem,” tandasnya. (lta/ihz/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs