Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dituntut membantu menghentikan serangan-serangan udara yang dilancarkan junta militer secara terus-menerus terhadap warga sipil Myanmar.
Khin Ohmar Ketua Progressive Voice, organisasi riset dan advokasi masyarakat Myanmar, mengatakan bahwa langkah tersebut merupakan upaya minimum yang perlu dilakukan ASEAN untuk membuktikan bahwa organisasi regional itu telah melaksanakan mandat Konsensus Lima Poin yang telah disepakati sejak April 2021.
“Kami tidak tahu apa yang telah ASEAN lakukan selama ini dan sejauh apa mereka bekerja untuk menyelesaikan krisis Myanmar. Kami tidak melihat dampaknya terhadap masyarakat kami di lapangan,” kata Khin dalam sebuah diskusi di Jakarta dilansir Antara, Rabu (3/5/2023).
“Untuk itu, saya mendesak para pemimpin ASEAN di KTT nanti untuk fokus terhadap bagaimana mereka bisa menghentikan serangan udara militer Myanmar,” kata dia menambahkan.
Tuntutan serupa juga disampaikan oleh Debbie Stothard Pendiri dan Koordinator ALTSEAN-Burma. ALTSEAN-Burma adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengampanyekan hak asasi manusia dan demokrasi di kawasan ASEAN, dengan fokus khusus pada Myanmar.
Menurut Debbi, jalur diplomasi apa pun yang ditempuh Indonesia selaku Ketua ASEAN 2023 dalam menyelesaikan krisis Myanmar belum menunjukkan kemajuan, sebab junta hingga saat ini masih terus menyerang warga sipil Myanmar.
“Indikator yang harus kita lihat sekarang adalah apa yang terjadi pada masyarakat Myanmar. Menjelang KTT ASEAN, kami belum melihat adanya penurunan kekerasan. Yang kami lihat adalah insiden-insiden yang justru menambah jumlah warga sipil yang meninggal,” kata Debbie.
Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UN OCHA) dalam laporannya pada Maret lalu menyebut bahwa militer Myanmar telah meningkatkan serangan-serangan udara, mengebom desa-desa, sekolah, fasilitas medis, dan kamp-kamp pengungsi.
Dalam laporan itu juga mencatatkan bahwa lebih dari 3.000 warga sipil tewas dalam dua tahun terakhir.
Militer Myanmar tidak hanya menargetkan fasilitas medis, tetapi juga petugas kesehatan, yang paling banyak menjadi sasaran serangan sejak kudeta dua tahun lalu.
Kementerian Kesehatan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) Myanmar melaporkan bahwa, dari 1 Februari 2021 hingga 28 Februari 2023, total 70 petugas kesehatan telah dibunuh secara kejam dan 836 lainnya ditangkap.
Kebutuhan kemanusiaan di Myanmar juga meningkat di tengah pengetatan operasional yang diterapkan junta terhadap organisasi-organisasi kemanusiaan.
OCHA mencatat sebanyak 17,6 juta orang—hampir sepertiga populasi Myanmar—diperkirakan membutuhkan bantuan kemanusiaan pada 2023.(ant/ihz/ipg)