Istilah ekonomi digital, menurut banyak referensi, pertama kali dikenalkan Don Tapscott dalam bukunya The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence (1995).
Ekonomi digital adalah kegiatan ekonomi berdasarkan teknologi komputasi digital. Orang juga bisa menganggapnya kegiatan bisnis mengandalkan pasar di internet atau world wide web (www).
Komponen ekonomi digital yang mula-mula teridentifikasi adalah industri teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK), aktivitas e-commerce, dan distribusi digital barang dan jasa.
Dari e-commerce, kini orang mulai mengenal on demand service (aplikasi transportasi), lalu teknologi kesehatan (healthtech atau medtech), sampai financial technology (fintech), juga e-travel.
Dampak keberadaan dan kemajuan ekonomi digital di dunia ini, dipopulerkan Rhenald Kasali dengan istilah disruption: kondisi di mana aktivitas ekonomi mengalami kekacauan (chaos).
Peradaban revolusi industri, kata Rhenald, telah melesat memasuki peradaban digital yang serba cepat dan mengikis semua fungsi gatekeeper (penjaga gerbang).
“Dari musik, film, perdagangan, periklanan, mainan, politik, sampai perjodohan (dating), dan seks, semua pindah ke platform digital,” kata Rhenald di bukunya The Great Shifting series on Disruption (2018).
Perubahan ini mengharuskan perusahaan-perusahaan konvensional melakukan shifting (pergeseran). Kalau tidak, mereka akan ketinggalan gerbong ekonomi baru.
Ini agaknya juga mengagetkan pemerintah. Pemerintah mendorong agar ekonomi digital digalakkan dengan menginisiasi gerakan 1.000 startup digital, hingga merumuskan road map e-commerce.
Namun, sampai sekarang belum ada kebijakan, regulasi, dan payung hukum yang tegas dan tepat sasaran yang mengatur perkembangan ekonomi digital di Indonesia.
Pertumbuhan Ekonomi Digital
Startup (perusahaan rintisan berbasis digital) sebagai ujung tombak ekonomi digital di Indonesia terus bertambah. Februari lalu, startup ranking melaporkan, Indonesia di peringkat keempat negara startup terbanyak.
Jumlahnya di Indonesia mencapai 1.705 startup. Indonesia berada di posisi keempat setelah Amerika Serikat (28.794 startup), India (4.713 startup), dan Inggris (2.971 startup).
Laporan terbaru situs pemeringkatan startup itu hingga September 2018, jumlah startup Indonesia meningkat menjadi 1.908 startup. Tapi peringkatnya justru menurun.
Pada laporan ini, jumlah startup di Indonesia berada di urutan keenam setelah Amerika Serikat (45,632 startup), India (5,638 startup), Inggris (4,797 startup), Canada (2,383 startup), dan Jerman (1.938).
Artinya persaingan pertumbuhan startup dunia sangat ketat. Di Indonesia setidaknya sudah empat perusahaan startup yang sudah berstatus unicorn atau valuasinya sudah sama dengan atau melebihi 1 miliar US Dolar Amerika.
Keempat perusahaan itu Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Ada sejumlah startup lain yang masuk dalam pendataan startup ranking seperti Blibli, Zalora Indonesia, Blanja.com, Alodokter, Elevenia dan masih banyak lagi.
Gigih Prihantono Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya mengatakan, kekuatan ekonomi digital di Indonesia baru dua macam. E-commerce dan perusahaan aplikasi transportasi sebagai bagian on demand service.
Dia menceritakan, bagaimana dirinya sudah pernah melakukan kunjungan ke dua e-commerce besar yang beroperasi di Indonesia.
“Saya sempat ke kantornya Lazada dan Tokopedia. Estimasi rata-rata transaksi per hari dua aplikasi ini antara Rp10-25 miliar per hari. Kalau setahun, anggaplah Rp2,5 triliun untuk dua e-commerce saja,” ujarnya.
Sedangkan untuk on demand service, dia sempat berkunjung ke salah satu startup unicorn Indonesia, Go-Jek. Menurut data yang dia miliki, Transaksi per tahun aplikasi ini mencapai Rp8,2 triliun.
“Itu baru untuk mitra pengemudi go ride-nya, ya. Untuk Go-Food-nya sekitaran Rp1,7 triliun per tahun. Bukan transaksi makanannya, tapi untuk transaksi fee jasa untuk deiver Go-Jek,” ujarnya.
Dia mengestimasikan, Grab sebagai pelaku on demand service lainnya, sekitar separuh transaksi transportasi Go-Jek. Maka nilai transaksi tahunan kedua penyedia aplikasi transportasi ini sekitar Rp12 triliun per tahun.
“Anggaplah, untuk dua aplikasi itu sekitar Rp15 triliun,” ujarnya.
Kontribusi Ekonomi Digital di Indonesia, menurut Gigih, cukup besar. Meskipun, menurutnya, masih bisa lebih besar lagi. Sebab, misalnya untuk dua perusahaan pelaku penyedia on demand service, keduanya hanya membuka layanan di daerah tertentu.
“E-commerce, peran paling besar sebenarnya idle capacity (kapasitas menganggur), sedangkan aplikasi transportasi berperan mereduksi biaya pengiriman,” ujar Gigih ditemui di kantornya.
Gigih menjelaskan, dengan adanya ekonomi digital, perputaran barang menjadi lebih cepat. Selain itu, biaya transportasi akan berkurang sekitar 17-18 persen dari biaya produksi.
“Cost transportasi yang tadinya misalnya Rp100 juta dari total biaya produksi bisa tereduksi sebanyak kurang lebih Rp8-10 juta. Ini sudah lumayan,” ujarnya.
Kontribusi Ekonomi Digital untuk Pertumbuhan Ekonomi Jatim
Soekarwo Gubernur Jawa Timur pernah menyampaikan, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Jatim Pada 2017 lalu mencapai Rp219 triliun. Sebesar 92,48 persen PDRB 2017 berasal dari masyarakat.
Dia menyebutkan, sebanyak 54,98 persen di antaranya ditopang Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM). Karena itu Gubernur mengatakan, UMKM di Jatim harus berkembang menjadi produsen supaya lebih kuat lagi.
Sebagaimana yang disampaikan Gigih Prihantono, peran ekonomi digital terutama dirasakan oleh perusahaan-perusahaan (UMKM) dengan mereduksi biaya pembuatan toko maupun biaya pengiriman.
“UMKM bisa meningkat kalau ekonomi digital juga akan meningkat. Karena, sekarang, shifting menggunakan ekonomi digital ini sangat membantu. Bisa jual ke mana saja tanpa perlu invest kantor dengan biaya transportasi yang tidak terlalu besar,” katanya.
Agaknya, peran ini sudah bisa dirasakan oleh UMKM. Terlihat dari data BPS untuk pertumbuhan ekonomi Jatim pada kuartal kedua 2018. Perekonomian di Jawa Timur tumbuh 5,57 persen dibandingkan kuartal yang sama tahun sebelumnya.
Data BPS juga menunjukkan, peningkatan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur secara year on year cukup signifikan terjadi pada lapangan usaha penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, mencapai 8,56 persen.
Menurut BPS kondisi ini terutama didukung dengan meningkatnya tingkat hunian kamar (penginapan dan hotel), serta bertambahnya jumlah rumah makan di Jawa Timur.(den/edy)