Anji dan sekitar 50 orang keluarga dan kerabatnya memutuskan pulang ke kampung halamannya di Bone, Sulawesi Selatan, meninggalkan rumah dan tempat usahanya di Talise, Senin (1/10/2018).
Rumahnya di Talise tidak jauh dari bibir pantai tempat tsunami memporak-porandakan bangunan. Beruntung dia dan keluarganya bisa menyelamatkan diri ke perbukitan.
Namun, Talise yang dulu indah sudah porak-poranda dalam beberapa saat sebelum Festival Nomoni, sebuah festival seni dan budaya menyambut Hari Jadi Kabupaten Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018) sore.
Jumat itu, dia mengingat, bagaimana guncangan gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter yang terjadi tidak seperti gempa bumi yang biasa dia dan keluarganya, juga masyarakat Talise, biasa rasakan.
“Kalau gempa biasa cuma bergoyang. Kalau kemarin itu tanah sudah naik turun. Bangunan yang empat lantai bisa turun tinggal dua lantai. Satu Perumahan Nasional tidak tampak lagi, sudah ada di bawah,” ujarnya.
suarasurabaya.net bertemu Anji dan sekitar lima keluarganya sedang menunggu kerabat lainnya, yang naik bus AKAP, di sebuah masjid di Desa Benggaulu, Kecamatan Dapurang, Kabupaten Mamuju Utara.
Bus itu melintas, Anji dan beberapa pria meneriakinya agar berhenti sejenak untuk berangkat bersama-sama. Mereka beruntung bisa keluar dari Talise yang menurut Anji, sekarang berubah menjadi kota mencekam.
“Orang-orang di sana sudah gelap mata. Seperti kanibal: dongkel sana dongkel sini (toko). Karena tidak ada bantuan yang masuk. Sampai saya berangkat tadi jam 10 pagi bantuan atau evakuasi tidak ada,” kata Anji.
Sebagian besar warga terpaksa bertahan di Talise, menurut salah satu kerabat Anji, karena mereka tidak memiliki cukup bahan bakar untuk keluar dari daerah itu.
Selain itu, kendaraan yang mereka miliki juga tidak bisa mengangkut semua kerabat atau tetangganya yang selamat dari bencana. Padahal, di sana gempa susulan masih berlangsung.
“Saya di sini ini rasanya seperti masih goyang-goyang. Karena memang hampir setiap menit gempa yang kecil-kecil macam 3 Skala Richter, masih terjadi,” ujarnya.
Tidak hanya itu, kerabat Anji lainnya mengatakan, sejumlah kawasan bangunan yang runtuh belum dievakuasi mulai menimbulkan bau dari jasad korban.
Tidak hanya itu, listrik di Palu terputus. Malam hari di sana gelap gulita.
Trauma dan ketidakpastian bantuan untuk mereka yang menjadi penyebab warga di Talise menjadi kalap. Seperti yang Anji bilang, warga yang gelap mata mendongkel pintu toko dan menjarah isinya.
Kondisi psikologis warga yang traumatis dan berujung aksi kalap penjarahan juga dia lihat sendiri di kawasan Donggala. Warga bahkan menjarah kabel-kabel dari truk Telkomsel.
“Saya lihat sendiri tadi itu. Makanya kalau bawa bantuan atau apa, jangan pakai spanduk. Truk Telkomsel itu pasang spanduk di depan, dijarah,” ujarnya.
Sementara, akibat minimnya ketersediaan bahan bakar, Anji menyebutkan terjadi antrean panjang kendaraan di sentra pengisian BBM di Kecamatan Pasang Kayu, Kabupaten Mamuju Utara.
“Mungkin sampai satu kilometer itu,” ujar kerabat Anji yang lain.
Meski dia sudah berhasil keluar dari Palu, dia berharap bantuan untuk warga Talise dan titik-titik terparah yang terdampak gempa segera mendapatkan bantuan dan evakuasi.(den/iss)