Yaqut Cholil Qoumas Menteri Agama (Menag) meminta pemerintah daerah mengabulkan izin penggunaan fasilitas umum di wilayah kerjanya untuk kegiatan keagamaan, termasuk untuk Salat Idulfitri.
Pernyataan itu merespons kabar adanya penolakan izin penyelenggaraan Salat Idulfitri hari Jumat, (21/4/2023), di Lapangan Mataram Kota Pekalongan, yang diajukan Takmir Masjid Alhikmah, Pekalongan, Jawa Tengah.
Kemudian, pihak Muhammadiyah juga mengonfirmasi belum mendapat izin untuk menggelar Salat Idulfitri di Lapangan Merdeka, Kota Sukabumi, Jawa Barat.
Menurut Yaqut, fasilitas umum boleh digunakan untuk kegiatan keagamaan selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.
“Saya mengimbau kepada seluruh pemimpin daerah agar dapat mengakomodir permohonan izin fasilitas umum di wilayah kerjanya untuk penggunaan kegiatan keagamaan selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di Jakarta, Senin (17/4/2023).
Menteri Agama menjelaskan, Pemerintah selalu menggelar Sidang Isbat untuk menetapkan awal Bulan Ramadan dan Bulan Syawal tiap tahunnya.
Kalau hasil Sidang Isbat menetapkan Hari Raya Idulfitri tahun ini tanggal 21 April 2023, hasilnya sama dengan yang ditetapkan Muhammadiyah.
Tapi, kalau sidang menetapkan Idulfitri tanggal 22 April 2023, maka ada perbedaan.
Lebih lanjut, Yaqut mengimbau seluruh Umat Islam menghormati perbedaan pendapat hukum terkait penentuan awal bulan dalam Kalender Islam.
Dia mengimbau seluruh kepala daerah mengizinkan fasilitas umum dipakai Salat Idulfitri, walau pun tanggalnya berbeda dengan hasil Sidang Isbat yang diputuskan Pemerintah.
“Kalau di kalangan masyarakat terjadi perbedaan penyelenggaraan Aalat Idulfitri, hendaknya hal tersebut direspons dan disikapi secara bijak, dengan saling menghormati pilihan pendapat keagamaan masing-masing individu,” harap Yaqut.
Sebelumnya, Muhammadiyah sudah lebih dulu menetapkan Idulfitri 1444 Hijriah hari Jumat tanggal 21 April 2023.
Penetapan tersebut berdasarkan hasil hitungan wujudul hilal yang dilakukan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Sementara, Kementerian Agama menetapkan awal Bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah berdasarkan metode gabungan penghitungan astronomi (hisab), serta pantauan langsung di sejumlah titik dengan teropong (rukyat).
Sekadar informasi, tahun-tahun sebelumnya, Kementerian Agama mengacu pada kriteria hilal bulan awal Hijriah dengan ketinggian 2 derajat, dan sudut antara matahari dan bulan yang terilihat dari bumi (elongasi) 3 derajat.
Lalu, mulai tahun 2021, Kementerian Agama Republik Indonesia menggunakan acuan yang disepakati bersama Menteri Agama Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura.
Merujuk acuan baru tersebut, awal Bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah disepakati dengan indikator tinggi bulan yang terlihat minimal 3 derajat, dan elongasi minimal 6,4 derajat.(rid/ipg)