Jumat, 22 November 2024

AMSI: Pers Harus Jadi Medium Penghapusan Diskriminasi Gender

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Workshop Trusted News Indicator yang digelar secara daring oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) bertema New Media & Perempuan, Rabu (12/4/2023). Foto: AMSI

Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) melanjutkan workshop Trusted News Indicator yang kedua secara daring, Rabu (12/4/2023) kemarin, dengan mengangkat isu new media dan perempuan.

Workshop tersebut merupakan kegiatan yang bertujuan mensosialisasikan indikator kepercayaan publik kepada media-media anggota AMSI.

Tidak hanya melakukan sosialisasi, pada workshop seri yang kedua ini juga bertujuan untuk menyerap masukan dan tanggapan para pemangku kepentingan, regulator, hingga aktivis perempuan terkait pedoman media terpercaya.

Wenseslaus Manggut Ketua Umum AMSI mengatakan Undang-Undang Pers harus menjadi pedoman bagi jurnalis, utamanya media siber.

Di samping itu, ia juga menekankan pentingnya seorang jurnalis mengabdi dan melakukan kerja pemberitaan untuk kepentingan publik, termasuk di dalamnya soal perempuan dan anak secara spesifik.

Wens menyebut saat ini banyak media termasuk platform media sosial yang secara terbuka mengekspos kekerasan perempuan, serta kata kasar, perundungan (bullying), serta eksploitasi terhadap anak-anak seperti pencantuman identitas.

“Media harus menarik garis demarkasi yang terang antara media dengan platform yang tidak tersentuh literasi itu. Media harus lebih sensitif terutama menyangkut anak dan perempuan. Maka dari itu AMSI membuat indikator kepercayaan publik ini, salah satu dari 11 poin yang disusun AMSI adalah pedoman pemberitaan terpercaya fokus isu perempuan dan anak,” kata Wens dalam keterangannya yang diterima suarasurabaya.net.

Sependapat dengan konsep trustworthy news, Eric Sasono Chief of Party Internews Indonesia menyebut masih banyak media yang belum menerapkan edukasi dan literasi tentang perlindungan perempuan dan anak sebagai kelompok rentan.

Hal itu disebabkan oleh kuatnya penerapan kultur patriarki dimana editorial media maupun audiens umum, masih gemar membaca tentang eksploitasi perempuan dan anak.

“Penerapan trusted news ibarat jalan terjal karena perubahan pandangan dan budaya (patriarki) di Indonesia. Di atas kertas, AMSI sudah memulai dengan menjalankan pedoman trustworthy news dalam kegiatannya menghimpun indikator kepercayaan publik sebagai landasan operasional pemberitaan di redaksi,” kata Eric.

Di sisi lain, Upi Asmaradhana selaku koordinator wilayah AMSI Indonesia Timur mengatakan, AMSI menampung aspirasi, gagasan, dan catatan kritis anggota, serta membuka masukan berbagai pihak. Mulai dari pemerintah, korporasi dan akademisi soal rumusan 11 indikator yang sudah dibuat melalui proses yang panjang.

“Tujuan 11 item Trust News Indicator adalah sebagai guideline teknis pedoman awak redaksi untuk membangun interaksi kepada audiens, memelihara kepercayaan publik, sekaligus brand safety,” kata Upi yang juga pemapar di workshop Trusted News Indicator.

Kemudian pada sesi diskusi, Dr. Ninik Rahayu Ketua Dewan Pers mengatakan bahwa Dewan Pers memberikan apresiasi AMSI dalam membangun Trusted News Indicator.

Ninik menambahkan, tidak hanya berfokus pada kepercayaan perusahaan pers secara luas, namun indikator yang disosialisasikan juga tetap memastikan penghapusan diskriminasi berbasis gender.

“Pers berpengaruh pada pembentukan opini dan sikap individu maupun masyarakat, serta menjadi medium untuk penghapusan diskriminasi berbasis gender. Hubungan timbal balik antara pers dan norma sosial di masyarakat, membentuk interaksi sosial dan perubahan sosial. Tantangannya adalah pers harus bisa menyerap perspektif patriarki dan diskriminasi berbasis gender di masyarakat,” jelas Ninik.

Sejalan dengan Ninik Rahayu, Dr. Musdah Mulia Founder of Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), juga mendukung Trusted News Indicator yang digarap oleh AMSI.

Dalam kesempatan workshop ini, ia juga memberikan masukan terkait pentingnya menjunjung tinggi nilai universal, hak asasi manusia, nilai luhur pancasila, dan menghargai identitas keberagaman di Indonesia.

Menurutnya, sebagai produk budaya, media merupakan konstruksi sosial yang memiliki peran dalam perubahan.

“Untuk merekonstruksi budaya (media) secara sistematis, bisa dilakukan dengan perubahan, yakni melalui pendidikan atau penguatan literasi. Upaya literasi penting menyadarkan semua orang, membuat kita menjadi bangsa berkeadaban,” katanya.

Sementara itu, Titi Eko Rahayu staf ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), memaparkan fungsi dan kedudukan pemerintahan sebagai fasilitator yakni mengintegrasikan kebijakan program Kementerian dengan stakeholder terkait pedoman media terhadap perempuan dan anak di ranah tupoksi Kementerian PPPA.

“Pemberitaan kesetaraan gender dan rekonstruksi budaya bisa dilakukan sesering mungkin agar tidak mudah tenggelam, tergantikan dengan pesan lain yang justru bisa melanggengkan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Caranya bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan trend terkini agar sosialisasi gender bisa dipahami. Upaya itu harus terus diperkuat, Kementerian PPPA terbuka untuk fasilitasi diskusi/pelatihan lanjutan” jelas Titik.

Indikator kepercayaan publik mulai disusun AMSI sejak pertengahan 2021 melalui serangkaian diskusi kelompok terfokus (FGD) di Jakarta dan Makassar.

Diskusi itu melibatkan lebih dari 50 pemilik dan pengelola media anggota AMSI, penyelenggara negara, agen periklanan global, akademisi, pengusaha, kelompok masyarakat sipil, dan lain-lain.

Perlu diketahui, workshop Trusted News Indicator seri kedua ini dihadiri oleh 50 peserta dari seluruh AMSI wilayah di Indonesia. Selanjutnya, seri ketiga akan digelar pada bulan Mei 2023 dengan mengangkat kepercayaan publik dari perspektif pelaku ekonomi dan bisnis. (ihz/bil)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs