Sabtu, 23 November 2024

Mahasiswa ITS Gagas Adat Suku Tengger sebagai Cultural-Healing Tourism Indonesia

Laporan oleh Risky Pratama
Bagikan
Mukhammad Akbar Makhbubi (dari kiri), Fairuz Amalia Ashfa, Sukma Dyah Aini, Shinta Ulwiya, dan Daksa Lintang Satyawadi mahasiswa, bersama Arwi Yudhi Koswara dosen pembimbing. Foto: ITS

Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya melakukan riset terkait sensibilitas kultur adat Suku Tengger yang ada di Jawa Timur dan potensinya sebagai healing tourism berbasis kearifan lokal di Indonesia.

Mukhammad Akbar Makhbubi Ketua tim penggagas menyatakan, hal itu dilakukan seiring dengan meningkatnya kegiatan untuk menghilangkan stress di masyarakat saat ini.

“Potensi pengembangan healing tourism pada Suku Tengger adalah masyarakat dan budayanya. Dalam mencapai ketentraman dan kesejahteraan, masyarakat Suku Tengger hidup dengan mengabdikan diri pada aturan adat yang dikenal dengan larangan malima (lima ‘ma’) serta pedoman walima (lima ‘wa’),” ucapnya pada Selasa (4/4/2023).

Ia menjelaskan, adat malima merupakan larangan untuk maling atau mencuri, main atau berjudi, madat atau mengonsumsi narkoba, minum atau mengonsumsi minuman keras, dan madon atau berzina. Serta walima (lima ‘wa’) yaitu waras atau sehat, wareg atau cukup makan, wastra atau cukup sandang, wisma atau memiliki rumah, dan wasis atau bijaksana.

Selain itu, ia mengatakan Suku Tengger yang berada di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) menjadi salah satu atensi pariwisata Pemerintah Provinsi Jawa Timur, sehingga memiliki potensi dalam pengembangan healing tourism.

Ilustrasi poster konsep Cultural-Healing Tourism berbasis Kultur Adat Suku Tengger karya Mukhammad Akbar Makhbubi dan tim dari Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS. Foto: ITS

Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) itu memaparkan, hasil riset di Desa Adat Ngadisari Kabupaten Probolinggo dan Desa Adat Wonokitri Kabupaten Pasuruan, terdapat enam sensibilitas kultur yang dapat menjadi potensi pengembangan healing tourism pada Suku Tengger.

“Kultur tersebut terdiri atas lunga atau berkebun, gegeni atau berkumpul di dapur atau tungku perapian, sanja atau bertamu menjelang senja, memidang atau berjemur diri, megeng atau meditasi, dan dedolan atau berkelana,” ungkapnya.

Lebih lanjut, kata dia, kultur tersebut merupakan cara masyarakat Suku Tengger memaknai budaya dan kegiatan sehari-harinya, yakni untuk mendapatkan rasa senang, tenang, ikhlas, terbuka, dan damai.

Dalam kesempatan itu, ia juga mengungkapkan bahwa kultur tersebut disusun menjadi satu rangkaian kegiatan dengan konsep cultural-healing tourism.

“Adapun konsep tersebut memuat pencarian makna, pengurangan emosi negatif, dan keseimbangan interaksi. Konsep ini akan membawa wisatawan untuk dapat merasakan pengalaman healing dari kultur sehari-hari masyarakat adat Suku Tengger,” ucapnya.

Ia bersama tim berharap, riset tersebut dapat berkembang sebagai bentuk kesiapan masyarakat dan infrastruktur penunjang wisata.

Sebagai diketahui, tim riset ITS itu juga telah berhasil meraih Juara 2 Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) dalam ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) 2022 lalu.(ris/dfn/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs