DPRD Surabaya minta Pemerintah Kota Surabaya serius menangani penyakit tuberculosis atau TBC. Kota Surabaya, disebut jadi penyumbang jumlah penyakit TBC terbanyak di Jawa Timur.
Khusnul Khotimah Ketua Komisi D DPRD Kota Surabaya menyebut, capaian temuan kasus TBC tahun 2022 mencapai 73,31 persen dari target. Sementara tahun ini, hingga 20 Maret 2023 capaian temuan baru 14,25 persen.
Ia minta, Dinas Kesehatan Kota Surabaya serius menangani dengan skrinning optimal agar menemukan suspek kasus secara dini.
“Saya minta dinas kesehatan untuk serius menangani kasus TBC ini. Kegiatan skrining dan pengobatan TBC harus terus dilakukan secara optimal, untuk menemukan suspek dan kasus TBC secara dini, sehingga risiko penularan di masyarakat dapat dikendalikan,” ujar Khusnul, Rabu (29/3/2023).
Upaya itu perlu dilakukan agar penyakit mudah menular ini tidak dengan cepat menyerang ke usia anak-anak.
“Penularan penyakit ini bisa terjadi melalui droplet, yakni percikan lendir yang keluar dari saluran pernapasan. Seperti saat batuk, bersin, atau bahkan meludah di dekat orang lain,” katanya.
Ia minta, para orang tua yang mengetahui gejala anaknya jika tertular TBC langsung memeriksakan ke puskesmas
“Nafsu makan menurun, berat badan anak sulit naik, kelenjar getah bening disekitar leher dan ketiaknya membengkak, sering demam atau batuk terus-menerus lebih dari tiga minggu dan tidak sembuh setelah diobati,” tandasnya.
Terpisah Nanik Sukristina Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya menyebut, berdasarkan data, capaian temuan dan pengobatan kasus TBC tahun lalu 73,31 persen dari target.
“Pada 2022 lalu target temuannya sebanyak 11.209 kasus. Sedangkan capaian kasus TBC ditemukan dan diobat sebanyak 8.218 kasus atau 73,31 persen,” kata Nanik.
Sementara 2023, per 20 Maret, baru 14,25 persen capaian temuan dari total target.
“Target penemuan kasusnya sebanyak 11.863. Hingga 20 Maret 2023, capaian kasus TBC yang ditemukan dan diobati sudah mencapai 1.691 kasus atau 14,25 persen,” tambahnya.
Meski begitu, ia mengaku terus melakukan skrinning dan pengobatan optimal demi mengendalikan risiko penularan di masyarakat. (lta/iss/rst)