Digalakannya gerakan nasional “Budaya Sensor Mandiri” oleh Lembaga Sensor Film (SLF) beberapa waktu terakhir, diharapkan tidak hanya diikuti oleh penikmat film seperti orang tua kepada anak, namun juga para pelaku sineas sendiri di Tanah Air.
Sosialisasi tersebut gencar dilakukan LSF, karena dalam perkembangan era digitalisasi saat ini upaya melindungi masyarakat, khususnya anak dari dampak negatif film tidak cukup dengan kebijakan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS).
Rita Sri Hastuti Ketua Subkomisi Data Pelaporan dan Publikasi LSF RI pengaruh digitalisasi memungkinkan film tidak hanya beredar di bioskop dan televisi, namun juga bisa diakses melalui internet, platform digital dan media sosial.
“Kami memang juga mensosialisasikan (Budaya Sensor Mandiri) kepada sineas dan komunitas film di sekolah yang memang lagi banyak-banyaknya. Tujuannya, biar mereka paham persis apa yang dibuat, dan untuk usia berapa. Karena yang kami terima selama ini para sineas sendiri tidak tahu untuk usia berapa film yang mereka buat,” ujar Rita dalam program Wawasan Suara Surabaya, Kamis (16/3/2023).
Dia menjelaskan peran LSF saat ini berbeda dengan saat awal-awal berdiri dengan nama Badan Sensor Film, yang masih melakukan pemotongan adegan sebuah film tidak sesuai klasifikasi. Menurutnya, era digitalisasi saat ini tidak memungkinkan untuk dilakukan hal tersebut.
Untuk itu, Rita berharap agar para sineas di Tanah Air kedepan bisa mencontoh proses pembuatan film di Jepang, yang biasanya lebih dahulu berkonsultasi dengan lembaga sensor setempat sebelum masuk proses produksi.
Di Negeri Sakura, lanjutnya, proses taraf penyensoran bahkan bisa makan waktu paling lama satu tahun. Mulai dari skenario, pihak lembaga sensor sudah mengarahkan hingga mengkoreksi agar film bisa sesuai dengan klasifikasi dan ketentuan umur.
“Nah Indonesia belum seperti itu. Di Indonesia, LSF hanya menerima karya fim yang sudah jadi. Sesuai undang-undang yang diberikan bahwa kami memang tidak diharuskan membaca skenario lebih dahulu,” ucapnya.
Dia juga mengungkapkan kalau masih banyak sineas di Indonesia yang baru mengirimkan hasil karyanya kepada LSF untuk dilakukan koreksi, tiga sampai empat hari sebelum film-nya ditayangkan di bioskop.
“Penyensoran (film) tercepat itu di Indonesia. Kalau ternyata dari hasil koreksi kami film sudah sesuai kategori dan klasifikasi usia ya kami loloskan, tapi kalau ada yang di revisi yah mau tidak mau harus direvisi,” jelasnya.
Untuk diketahui, penyensoran film merupakan amanat dari Undang Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, dimana setiap film yang akan diedarkan dan pertunjukkan wajib mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF).
“Ada memang yang mau revisi, tapi ada juga yang bandel tidak mau di revisi dan film-nya terpaksa tidak kami rekomendasikan untuk tayang. Itu sudah sesuai dengan wewenang dan kebijakan yang diberkan kepada kami,” imbuhnya.
Standar sensor tersebut, ditegaskannya juga dilakukan sama persis untuk sineas internasional yang ingin film-film-nya ditayangkan di Indonesia. Sehingga, tidak ada anggapan pilih kasih antara sineas nasional denga internasional.
Sementara untuk “Budaya Sensor Mandiri” untuk masyarakat, kata Rita, seharusnya bisa diikuti dengan mudah. Mengingat, di berbagai bioskop sudah ada klasifikasi usia untuk masing-masing film.
Klasifikasi usia mulai 13+, 17+ dan 21+ sudah dicantumkan di masing-masing bioskop, sehingga bisa diikuti oleh orang tua. Meski demikian, diakui kalau masih banyak orang tua yang bandel dan tidak taat aturan.
“Beli tiket film yang usianya tidak sesuai untuk anak-anak, pas ditegur ngeyel ‘kan saya sudah bayar’, nah itu susahnya. Pas di dalam bioskop biasanya kalau ada adegan ciuman atau kekerasan, anak disuruh tutup mata dan sebagainya, padahal harusnya tidak seperti itu,” ungkapnya.
Menurut Ketua Subkomisi Data Pelaporan dan Publikasi LSF itu, hal tersebutlah yang jadi pertimbangan gerakan “Budaya Sensor Mandiri” gencar disosialisasikan.
Sebagai informasi, dari hasil polling Suara Surabaya Media soal “Budaya Sensor Mandiri”, mayoritas orang tua memilih mengajak anak menonton film sesuai dengan kategori usia.
Dari diskusi di program Wawasan, data pendengar yang mengudara maupun hanya terdata di gate keeper, sebanyak 18 dari 20 pendengar (90 persen memilih menyesuaikan tontonan dengan anak berdasarkan kategori usia, sementara dua pendengar sisanya (10 persen) memilih tidak menyesuaikan.
Demikian di instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 469 dari total 631 responden (74 persen) memilih menonton film dengan anak sesuai dengan kategori usia. Sedangkan, 162 responden sisanya (26 persen) memilih tidak menyesuaikan tontonan berdasarkan usia. (bil/rst)