Sabtu, 23 November 2024

Dampak Silicon Valley Bank, Startup Indonesia Memasuki Gelombang Disrupsi Kedua

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi Startup. Foto: Ilustrasi

Rhenald Kasali Pakar Bisnis menyampaikan bahwa industri startup di Indonesia saat ini tengah menghadapi gelombang disrupsi kedua, menyusul penutupan Silicon Valley Bank dan dua bank lain di Amerika Serikat (AS).

“Gelombang disrupsi kali ini menyangkut perubahan paradigma bisnis, dari era keberlimpahan dana investasi akibat kebijakan bunga rendah di Amerika Serikat menjadi sebaliknya,” kata Rhenald Kasali melalui keterangan tertulis yang diterima suarasurabaya.net, Kamis (16/3/2023).

Ia menjelaskan, disrupsi pertama berlangsung selama 15 tahun, mulai 2007 hingga 2022. Pelaku usaha “brick and mortar” seperti Nokia, Kodak, Sears, sejumlah retail konvensional, ruang-ruang perkantoran, dan media massa berbasiskan kertas menjadi korbannya.

Disrupsi Gelombang Pertama itu dipicu bunga pinjaman rendah yang diambil investor-investor baru pemburu kenaikan valuasi.

Sehingga, startup berhasil merebut pasar melalui teknik bakar uang yang menghasilkan “top line” (revenue) yang impresif dan merebut hati investor pemburu valuasi tinggi.

Namun, ia menambahkan, metode bakar uang tersebut masih belum bisa dikatakan membentuk market yang stabil.

“Kini suku bunga bank yang tinggi menjadi game changer. Untuk menekan inflasi tinggi, sejak Juli lalu the Fed di Amerika Serikat meningkatkan suku bunga dengan cepat sehingga para investor menarik uangnya dari investasi di perusahaan teknologi ke deposito bank atau surat berharga pemerintah yang memberikan return lebih tinggi. Pengurangan sumber dana dari investor memaksa perusahaan teknologi putar arah. Dari valuasi ke efisiensi, dari top line ke bottom line. Maka penyehatan menjadi keharusan. Era Bakar duit berakhir,” tegasnya.

Kemudian, ia mencontohkan GoTo, yang kembali melakukan penyehatan organisasi dengan cara memangkas biaya yang duplikasi.

“GoTo tengah memasuki masa penyehatan, menipiskan lemak akibat redundancy. Merger Gojek dan Tokopedia telah menghasilkan banyak potensi sinergi dan tentu harus dibarengi dengan operasional yang lebih efisien. Kini GoTo harus lebih disiplin dan berfokus pada bisnis inti yang menghasilkan return on investment. Kalau GoTo berhasil, maka ia akan menjadi lebih lincah mengejar target profitabilitasnya di akhir tahun ini, apalagi target ini dipercepat 1,5 tahun dari rencana awal. Sekalian meraih sales yang tak segemerlap dulu, tetapi benar-benar real sales, bukan karena bakar duit,” katanya.

Ia juga mencontohkan Sea Limited (Singapura) yang justru meraih untung di atas Rp 6 Triliun pada Q4 2022, meskipun bisnis gaming Garena merosot 32.9%, dari $1.41 miliar pada tahun sebelumnya menjadi $948.8 juta pada kuartal yang sama.

Contoh lainnya, ia menambahkan, perampingan organisasi yang dilakukan Meta. Dengan memangkas kembali 10,000 karyawan, mereka menganggap “leaner is better” atau semakin ramping semakin bagus.

“Sea kehilangan market gaming Free Fire yang dilarang di India. Cukup besar, tapi dengan mengurangi bakar duit, bahkan merampingkan SDM, kini jauh lebih sehat. Era baru telah datang, mindset para merchant, driver, UMKM pengguna bisnis online, anak-anak yang bekerja di startup dan kita yang menyaksikannya juga harus berubah,” tutupnya.(ihz/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs