Setelah dugaan kepemilikan harta bernilai fantastis milik Rafael Alun eks pegawai Ditjen Pajak Republik Indonesia mencuat dan dianggap publik tidak wajar, Gitadi Tegas Supramudyo Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair) angkat bicara.
Ia menilai, kasus pejabat negara dengan harta kekayaan tidak wajar ibarat fenomena gunung es, yakni kepemilikan harta dengan nilai tak wajar di kalangan pejabat negara merupakan hal yang umum di Indonesia. Hanya saja menurutnya, yang terlibat mampu menutupinya dengan melakukan berbagai rekayasa.
“Kalau kita lihat kasus ini, fakta yang muncul yakni aset-asetnya itu tidak atas namanya sendiri, tetapi atas nama orang lain atau keluarganya. Artinya, ini merupakan satu bentuk penyembunyian aset dengan rekayasa LHKPN,” ucapnya pada Senin (6/3/2023).
Ia mengatakan, mencuatnya kasus Rafael juga berimbas pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah khususnya kementerian keuangan dan jajarannya. Sehingga ia menilai, hal itu memengaruhi pendapatan pajak negara.
“Logikanya, ketika public distrust meningkat kemudian terjadi penurunan keikhlasan dan kemauan untuk membayar pajak, tentu saja akan berpengaruh,” ucapnya.
Secara teori, kata dia, pengaruh public distrust pada pendapatan pajak negara tidak akan terjadi secara berkepanjangan. Meskipun begitu, Gitadi mengingatkan pemerintah agar melakukan upaya untuk memperbaiki tingkat kepercayaan publik terhadap instansinya.
“Jajaran pemerintah juga harus melakukan upaya-upaya maksimal untuk menambal dampak negatif terhadap masalah di institusi tersebut. itu bisa menjadi berkepanjangan jika tidak ada upaya konkret dari negara,” tegasnya.
Ia menyebut, kondisi itu merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi dan redesain kebijakan, khususnya terkait LHKPN.
“Sudah seharusnya LHKPN segera diperbaiki sehingga tidak ada lagi kasus penggunaan nama orang lain atau penyamaran aset. Dalam hal ini, para stakeholders harus juga bersinergi, misalnya saja dengan kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maupun kejaksaan untuk menelusuri aset dan kekayaan terduga,” terangnya.
Selain itu, ia mengatakan, kondisi tersebut juga tepat untuk melakukan pemerataan keadilan bagi profesi lain sesuai dengan kontribusinya.
“Perlu diketahui bahwa setiap instansi memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. Namun demikian, masih terjadi ketimpangan khususnya dalam hal anggaran dan tunjangan yang diterima. Jadi, menurut saya ini momentum penting untuk reformasi, termasuk memeratakan keadilan bagi profesi lain, terutama di bidang pendidikan yang paling kentara kesenjangannya,” ujarnya.
Ia berharap, kasus tersebut terhindar dari politisasi, karena menurutnya pemilu 2024 akan segera bergulir dan rentan disusupi oleh kepentingan politik tertentu.
“Supaya tidak terkesan ada politisasi, khususnya menjelang Pemilu 2024, maka berbagai data dan bukti dari kasus ini harus diperkuat oleh sumber yang dipercaya, sehingga tidak dijadikan sebagai amunisi untuk kepentingan politik kelompok tertentu untuk menyerang pemerintah,” pungkasnya.(ris/abd/ipg)