Darius Beda Daton Kepala Ombudsman Nusa Tenggara Timur (NTT) mengaku mendapatkan banyak komplain setelah Viktor Bungtilu Gubernur NTT mengeluarkan kebijakan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masuk pukul 5 pagi di Kupang.
Darius kepada Radio Suara Surabaya mengatakan pada Kamis (2/3/2023) bahwa komplain yang masuk tidak hanya dari siswa, namun juga dari orang tua dan para guru.
Ia melanjutkan, ada beberapa alasan kenapa para orang tua, guru, maupun siswa merasa keberatan atas kebijakan tersebut. Seperti misalnya, dari sisi transportasi yang belum siap sehingga akan menyulitkan serta juga faktor alasan keamanan dan keselamatan para pelajar yang terancam.
“Pada jam tersebut (05.00 WITA) angkutan dalam kota di Kota Kupang masih belum beroperasi sehingga nantinya akan menimbulkan kesulitan bagi pelajar yang berangkat ke sekolah. Kemudian, alasan keamanan dan keselamatan para pelajar yang bisa terancam karena petugas Kepolisian pada jam tersebut masih belum bertugas di jalan raya. Selanjutnya, faktor kesehatan, di mana jika siswa berangkat pukul 5 pagi maka persiapan berangkat sekolah akan dilakukan lebih dini sehingga hal tersebut dianggap bisa mengganggu jam istirahat para pelajar,” terangnya.
Darius menambahkan, kegelisahan orang tua terkait keamanan dan keselematan para pelajar juga berdasar pada kasus asusila di NTT yang tinggi setiap tahun.
Di sisi lain, ia menjelaskan bahwa kebijakan yang dikeluarkan gubernur NTT ini sifatnya hanya instruksi tanpa ada proses diskusi dengan stakeholder terkait.
“Kebijakan ini baru beliau (Gubernur NTT) sampaikan secara lisan di dalam rapat dengan Dinas Pendidikan Provinsi dan sejumlah kepala sekolah. Jadi baru disampaikan secara lisan, kemudian 1 atau 2 hari setelah itu diinstruksikan lagi secara lisan ke seluruh sekolah untuk melaksanakan. Lalu, kepala sekolah memerintahkan seluruh siswanya untuk hadir jam 5 pagi tanpa didahului dengan undangan diskusi atau sosialisasi kepada para guru, orang tua siswa dan komite sekolah,” jelas Darius.
Sampai saat ini, pihak Ombudsman belum melakukan komunikasi dengan Gubernur NTT namun sudah melakukan komunikasi dengan pihak Dinas Pendidikan Provinsi dan para guru di SMA dan SMK.
“Hasilnya rata-rata guru di NTT menyampaikan keberatan untuk melaksanakan kebijakan itu. Alasannya banyak seperti, menjaga hak-hak anak, psikologi anak, dan seterusnya. Sehingga keberatannya sangat masif dari stakeholder terkait dan para guru,” paparnya.
Di samping itu, Darius menyampaikan sisi positif yang diinginkan Gubernur terkait kebijakan ini.
“Mungkin sebenarnya beliau ingin anak-anak disiplin, bangun pagi, dan seterusnya. Beliau juga ingin, khususnya SMA dan SMK harus ada yang bisa masuk universitas ternama di Indonesia dan dunia. Itu sebenarnya hal positif yang beliau inginkan. Namun ini tidak bisa diterapkan secara mendadak karena membutuhkan kajian-kajian komprehensif lain untuk bisa kita laksanakan,” katanya.
“Karena di seluruh dunia barangkali tidak sekolah yang masuk jam 5 pagi,” tambahnya.
Saat ini, menurut Darius sudah ada sejumlah sekolah yang menerapkan instruksi ini di tengah proses kajian kebijakan yang sedang dilakukan. Dalam penerapannya saat ini, diketahui beberapa sekolah yang sudah menerapkan kebijakan ini langsung melakukan kegiatan akademik jam 5 pagi.
“Itu yang kami persoalkan. Harusnya kajiannya yang didahulukan, kalau benar-benar bisa diterapkan baru kita praktikkan,” tegasnya.
Selain melakukan audiensi dengan pihak sekolah, saat ini pihak ombudsman sudah mempertimbangkan masukan dari pihak-pihak terkait yang sudah menyatakan penolakan dan akan melakukan kajian.
“Di sini semua menolak. DPRD menolak, PGRI menolak, semua menolak namun masih tetap dijalankan. Itu yang menjadi persoalan. Niat baik itu harus dilakukan dengan proses yang benar agar mendapatkan manfaat” pungkas Darius. (ihz/rst)