Kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 pagi WITA untuk SMA/SMK di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mulai dilaksanakan beberapa sekolah setempat pekan ini.
Victor Laiskodat Gubernur NTT sebagai penggagas kebijakan mengatakan, alasan dimajukannya jam masuk sekolah itu itu untuk membentuk karakter siswa/remaja lebih disiplin.
“Anak itu harus dibiasakan bangun pukul 04.00 WITA. Pukul 04.30 WITA, mereka sudah harus jalan ke sekolah sehingga pukul 05.00 WITA sudah harus di sekolah. Supaya apa? Itu etos kerja,” ujar Viktor dalam video yang vital di media sosial, Kamis (23/2/2023) lalu.
Selain itu, Viktor mengungkapkan tujuan lain kebijakan itu diberlakukan agar remaja/siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang seperti kuliah di PTN, hingga mendaftar Akpol/Akmil mentalnya lebih siap.
Kebijakan tersebut tentu dikritik banyak pihak, mulai orang tua, perhimpunan guru, Anggota DPR RI, hingga psikolog yang turut khawatir kalau mental remaja.
Hal itu diutarakan Naftalia Kusumawardhani Psikolog Remaja Rumah Sakit Mitra Keluarga Waru Sidoarjo, dalam program Wawasan Suara Surabaya, Kamis (2/3/2023).
“Niatnya sih bagus membuat remaja lebih disiplin, tapi perlu diingat mereka (remaja) yang rentan usia 16-18 tahun memasuki puncak pertumbuhan, dimana ada siklus sirkadian (siklus tidur-bangun yang berulang setiap 24 jam) yang tidak boleh terganggu,” ucapnya.
“Kalau siklus dan jam istirahat mereka terganggu, maka dampaknya bukan hanya ke fisik yang kurang bugar, tapi ke mental,” imbuh Naftalia.
Menurutnya gangguan mental tersebut bisa dipicu dari masalah psikologi, semisal konflik dengan keluarga setiap pagi antara orang tua dan anak. Pengaruh jam sekolah yang terlalu pagi, memungkinkan orang tua harus bekerja lebih ekstra.
Padahal, selain lingkungan dan sekolah, keluarga punya peran besar untuk pembentukan karakter pada remaja/siswa.
“Orang tua bertengkar dengan anak. Kemudian si anak muncul rasa tidak nyaman di sekolah karena dipaksa berangkat lebih pagi, belajar dan duduk lebih lama juga,” terangnya.
Untuk itu, Psikolog Remaja itu berharap agar pemerintah setempat menyediakan tidak hanya sarana penunjang belajar, tapi juga bentuk pendampingan psikologis kalau sewaktu-waktu ada banyak siswa/keluarga yang mengalami masalah tersebut.
Sebagai informasi, Suara Surabaya Media, Kamis (2/3/2023), melakukan polling dalam Program Wawasan terkait “bisa tidaknya sekolah lebih pagi membentuk karakter siswa”.
Hasilnya, dari data Gate Keeper Suara Surabaya sebanyak 24 dari 38 pendengar (63 persen) memilih bisa, sedangkan 14 sisanya (37 persen) memilih tidak bisa.
Sementara untuk polling di instagram, mayoritas responden yakni 278 dari total 378 (74 persen) memilih sekolah lebih pagi tidak bisa membentuk karakter siswa, sedangkan 100 sisanya (26 persen) memilih bisa. (bil/rst)