Gempa 7,4 SR yang mengguncang Kota Palu dan sekitarnya pada 28 September 2018 lalu sempat mengganggu operasi Bandara Mutiara SIS Al Jufri karena landasan pacu dan menara pengatur lalu lintas udara bandara rusak. Belu lagi terputusnya jaringan listrik membuat sistem komunikasi terputus.
Upaya perbaikan kemudian segera dilakukan bersamaan dengan upaya-upaya penanganan dampak bencana yang lain. Operasi penerbangan pun berangsur pulih.
Kini, saat kegiatan keseharian warga dan aktivitas ekonomi kota mulai bergerak, frekuensi penerbangan komersial pun kian bertambah hingga mendekati normal, meski kegiatan masih dilakukan di terminal sementara dan dengan landasan pacu yang terbatas.
Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, sudah ada 11.215 pergerakan penumpang di Bandara Mutiara SIS Al Jufri sejak 30 September hingga 8 Oktober 2018.
Pencapaian itu tidak lepas dari upaya pemulihan transportasi udara, yang sangat vital dalam pengiriman bantuan kemanusiaan maupun evakuasi korban, yang dilakukan oleh regulator maupun operator penerbangan, termasuk Airnav Indonesia.
Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Indonesia atau Airnav Indonesia langsung menerbitkan pemberitahuan (Notice to Airmen/Notam) bahwa Bandara Mutiara SIS Al Jufri ditutup sementara selama 24 jam pascagempa.
Selama penutupan bandara sementara, Airnav Indonesia menerbangkan radio komunikasi dari Balikpapan dan Makassar menggunakan helikopter untuk mendukung layanan navigasi darurat di Palu.
“Komunikasi dulu, karena kalau tidak ada komunikasi kan bahaya kalau pesawat sampai ke situ, dia enggak dapat info bagaimana kondisi bandara, bagaimana kondisi traffic yang lain,” kata Novie Riyanto Direktur Airnav Indonesia.
Pemulihan komunikasi, ia menjelaskan seperti dilansir Antara, dilanjutkan dengan pemulihan navigasi dan pengawasan.
Dalam waktu 18 jam, sistem komunikasi Airnav bisa berfungsi kembali sehingga pesawat bisa melakukan pendaratan dan tinggal landas. Semula penerbangan masih menggunakan Visual Flight Rules (VFR) dan landasan pacu yang bisa dipakai baru 2.000 meter karena 500 meter lainnya terbelah.
“Pemulihan ini termasuk cepat, saya perintahkan membawa radio menggunakan helikopter pukul 17.00, kemudian pukul 11.00 paginya Hercules sudah bisa mendarat dan evakuasi,” katanya.
Penanganan Kedaruratan
Novie mengatakan, pengalaman pemulihan sistem komunikasi penerbangan di Palu pada 28-29 September bisa dijadikan contoh untuk penanganan dalam kondisi darurat di bandara-bandara lain apabila terjadi bencana.
“Pengalaman ini akan menjadi contoh bagaimana towernya roboh, listrik padam, tapi dengan cepat sudah bisa recovery lagi,” katanya.
Sementara mempersiapkan pembangunan menara pengatur lalu lintas udara (Air Traffic Controller/ATC), Airnav mendatangkan menara ATC berjalan setelah sepekan menggunakan menara darurat. Menara berjalan AirNav Indonesia ini tiba di Pelabuhan Pantoloan, Palu, pada Jumat (5/10/2018) lalu.
Ahmad Aulia merupakan Direktur Teknik yang memimpin langsung tim dan memastikan menara berjalan segera beroperasi.
Titik lokasi pemasangan ditentukan di dekat bangunan menara yang lama. Tim menyiapkan infrastruktur seperti jaringan sumber daya listrik dan jaringan telepon dan menaikkan cabin tower sesuai kebutuhan di lokasi gempa. Tes kestabilan kabin pun dilakukan.
Selanjutnya mereka melakukan pengaturan frekuensi seperti frekuensi di menara saat ini, uji coba jangkauan peralatan VHF yang ada di kabin, serta memasang fasilitas komunikasi ground to ground untuk koordinasi.
Seluruh proses pemasangan dilakukan dengan kehati-hatian ekstra sebab tidak boleh mengganggu operasional menara darurat yang beroperasi 24 jam. Pada tahap paling akhir dilakukan uji coba operasional. Kemudian pelayanan navigasi dipindah ke menara berjalan mulai Senin pagi.
“Pelayanan melalui mobile tower ini memiliki keunggulan dari tower darurat sebelumnya. Dilengkapi sejumlah peralatan canggih, jangkauan radio VHF di atas 100NM yang membuat jangkauan komunikasi lebih luas sehingga mempercepat komunikasi tower dengan pesawat,” jelas Novie.
Menara berjalan juga lebih bersahabat dengan pemandu karena dimensi kabin dengan panjang 6,058 meter, lebar 2,438 meter dan tinggi 2,438 meter membuat petugas lebih leluasa bergerak.
Selain itu kabin juga dilengkapi dengan fasilitas lampu penerangan, meja pengendali, head set/hand microphone, perekam, lampu tembak sinyal, lampu darurat, serta pendingin ruangan. Semuanya untuk mendukung petugas ATC berkonsentrasi penuh dalam melayani penerbangan.
Menara ATC Antigempa
Ke depan Airnav akan membangun menara ATC antigempa di sejumlah bandara yang berada di daerah rawan bencana.
Airnav akan bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berkenaan dengan informasi kondisi geologi serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk konstruksi bangunan.
Novie mengatakan biaya pembangunan menara ATC antigempa di Bandara Mutiara SIS Al Jufri Palu berkisar Rp20 miliar sampai Rp30 miliar, termasuk untuk perkantoran dan peralatannya.
Heru Legowo Pengamat Navigasi Penerbangan mengatakan, selanjutnya menara harus dilengkapi pintu darurat berupa kantung peluncur yang bisa menembus langsung ke lantai dasar untuk mengantisipasi kondisi darurat semacam gempa.
“Emergency yang saya sebutkan itu ada semacam lubang atau kantung seperti guling panjang sampai bawah meluncur seperti kayak kaos kaki, itu perlu dipertimbangkan,” kata Heru, yang menduga ATC Anthonius Gunawan Agung, yang meninggal dunia dalam tugasnya ketika gempa mengguncang Palu, celaka karena tidak menemukan jalan keluar menuju ke lantai dasar.
Namun dia mengapresiasi pemulihan cepat sistem komunikasi di bandara.
“Saya kira sudah cukup bagus, gempa adalah sesuatu yang unpredictable, yang tidak bisa ditebak ke mana, dengan peralatan darurat, dan runway terbatas,” pungkasnya. (ant/nin/ipg)