Menjawab tantangan digitalisasi bukan hanya PR (pekerjaan rumah) untuk media konvensional seperti TV dan Radio saja, namun juga untuk industri periklanan.
Hal tersebut diungkapkan Janoe Arijanto Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (Ketum P3I) dalam diskusi “Menjawab Tantangan dan Peluang Industri Periklanan Saat Ini”, di Suara Surabaya Center (SSC), Senin (27/2/2023).
Baik media konvensional maupun perusahaan periklanan, harus segera touch in ke digitalisasi. Alasannya, pada era menjelang 5.0 saat ini masyarakat atau audience punya segmentasi masing-masing.
“Masyarakat kita itu kan multi segmented, jadi golong-golongan itu banyak sekali. Kemampuan kita untuk membaca mana yang tepat untuk segmen kita itu harus. Apalagi yang menarik, masing-masing segmen punya platform sendiri-sendiri,” ucapnya pada suarasurabaya.net selesai diskusi.
Menurutnya ketepatan untuk membaca segmen, seperti keinginan maupun aspirasi konsumen jadi kunci kesuksesan mengkampanyekan sebuah produk.
Dia mencontohkan suatu istilah atau metode social commerce, dimana audience atau pasar berbelanja karena pengaruh feed atau timline sosial media yang mereka dapatkan.
“Jadi mereka belanjannya dari TikTok, Facebook, Instagram dan sebagainya. Ini menarik, karena jadi demokratisasi untuk siapa saja yang ingin memasarkan produknya baik lewat temannya yang punya banyak follower di sosial media tertentu,” ungkapnya.
Maka dari itu, Ketum P3I itu berharap agar semua industri periklanan maupun media konvensional bisa memaksimalkan kondisi lewat peluang tersebut.
Di sisi lain, Janoe menegaskan kalau digitalisi tidak melulu tentang sosial media, bisa juga dengan mengkombinasikan teknologi dan kreatifisasi. Seperti, mengkombinasikan papan video tiga dimensi (billboard) dengan media konvensional.
Namun, ditegaskan kembali kalau kampanye atau konten yang ditampilkan harus mampu memberi pengaruh (influence) kepada target pasarnya.
“Ketika sebuah billboard memiliki QR Code di beberapa titik, maka mereka bisa jadi actionable media dan menggerakan orang. Sementara kalau peran radio-nya, bisa digunakan untuk mengarahkan ke titik-titik billboard tadi, itu konsep kolaborasi sederhana sebenarnya,” terangnya.
Kesinambungan dan kolaborasi antar media tersebutlah, yang menurut Janoe sangat penting selain konvergensi ke platform sosial media. Apalagi, kalau konten yang ditampilkan punya sifat crowd atau kekuatan dari publik.
“Artinya konten yang dimuat itu real time, dan sumber informasinya dari publik sendiri seperti yang dilakukan Suara Surabaya selama ini,” tuturnya.
Sementara itu, Wahyu Widodo Direktur Bisnis Suara Surabaya (SS) Media dalam kesempatan yang sama menambahkan, kalau konsep yang diusung SS Media sejak awal memang soal keterlibatan publik dalam setiap produk, baik dari siaran maupun sosial media.
Hal itu senada dengan konsep crowd atau kekuatan dari publik yang dijelaskan sebelumnya oleh Ketum P3I soal influence.
“Jadi apa yang dilakukan adalah untuk bisa membangun pengaruh. Maka orang (audience) tidak hanya terpapar informasi, tapi bagaimana bisa terlibat dari bagian distribusi (informasi) tadi,” ungkapnya.
Selain itu, dia menegaskan kalau digitalisasi sudah seharusnya tidak dijadikan sebuah alergi untuk media konvensional. Apalagi, adanya Pandemi Covid-19 otomatis membuat banyak pihak sadar untuk segera melakukan konvergensi.
“Jangan diomeli (digitalisasi) apalagi dibenci, seharusnya justru dikawinkan. Jangan nyalahin digitalisasi bikin orang tidak mendengarkan radio. Karena radio sekarang juga tidak harus didengar saja, ada juga yang dilihat seperti visual radio,” tandasnya.(bil/ipg)